“Apa gunanya ilmu, kalau hanya untuk mengibuli. Apa guna baca buku, kalau mulut kau bungkam melulu. Di mana-mana moncong senjata berdiri gagah. Kongkalikongdengan kaum cukong. Di desa-desa rakyat dipaksa menjual tanah. Tapi, tapi, tapi, tapi dengan harga murah. Apa guna baca bukun kalau mulut kau bungkam melulu.”
Pernahkah
Anda membaca dan atau mendengar puisi salah seorang putra terbaik bangsa ini?
Iya, puisi ini merupakan karya Wiji Thukul, dengan judul di bawah selimut
kedamaian palsu. jika dibaca dengan seksama, puisi Wiji Thukul ini memang
sederhana. Namun jangan salah, puisi ini syarat akan makna. Puisi ini juga tak
pernah absen dari dunia aktivis Mahasiswa. Bahkan sering dibaca saat
acara-acara sakral kampus, seperti OPAK dan bahkan saat demonstrasi Mahasiswa.
Bagi
sebagian Mahaiswa, Wiji Thukul tak ubahnya sebagai kiblat perjuangan Mahasiswa.
Terlebih bagi sebagian mahasiswa yang menyebut dirinya aktivis kampus. Bersama
dengan aktivis Mahasiswa lainnya, sebut saja Munir, Soe Hok Gie, Arif Rohman
Hakim, Cak Nur, dan lain sebagainya, dengan versi perjuangannya masing-masing,
berhasil memerankan diri sebagai pelopor aktivis mahasiswa.
Mereka
merupakan mahasiswa yang memiliki keberanian untuk menyuarakan aspirasi
masyarakat kecil. Meskipun seringkali bersinggungan, dan bahkan bersitegang
dengan pemerintah, nyali mereka untuk berjuang tak pernah surut. Bahkan semakin
dikekang perjuangan mereka, maka akan semakin gigih pula mereka meneriakkan
idealismenya. Maka tak heran jika nama-nama mereka hingga kini terus dikenang
oleh Ibu Pertiwi.
Matinya
Nalar Kritis Mahasiswa
Kondisi
mahasiswa hari ini mahasiswa terjebak dalam dunia baru yang mengharuskan mereka
untuk seperti robot, kreatifitas menghilang dikarenakan ketidak pedulian dengan
keadaan sekitar. Pada umumnya, mahasiswa sibuk dengan tugas-tugas kampus yang
diberikan oleh dosen. Bahkan tidak jarang mahasiswa berpikir bahwa tugas
akademik saja yang harus dikerjakan dalam dunia kampus. kegiatan-kegiatan yang
di luar akademik, tinggalkan saja!. Berorganisasi pun kadang dilupakan, atau
tidak dipedulikan. Sebuah paradigma berpikir yang sebenarnya akan membunuh
kreatifitas dan nalar kritis mahasiswa.
Mahasiswa
yang merupakan bagian civitas akademika, diharapkan mampu cepat dan mudah
memahami serta menjalankan fungsi dan peran mahasiswa. Mahasiswa yang umumnya
remaja/pemuda sedang menuju usia dewasa memiliki karakteristik idealis,
independen dan progresif sehingga secara logika lebih mudah dan cepat menemukan
kebenaran rasional-empiris.
Bagaimana
pula implementasi operasional trilogi diskusi, publikasi dan aksi? Mahasiswa
sangat identik dengan kegiatan akademis, yang salah satunya tercermin dalam
budaya diskusi. Namun, saat ini tradisi luhur mahasiswa itu tampaknya sudah
kian menurun, bahkan cenderung menukik menuju hilang. Dengan demikian, jika
tidak ada upaya penyelamatan, bukan tidak mungkin ke depan diskusi akan menjadi
tradisi asing bagi mahasiswa.
Apalagi
berhubungan dengan fungsi dan peran mahasiswa sebagai agent of social
chang dan sosial kontrol, tentu diskusi merupakan bagian dari mekanisme
yang sangat urgen untuk melaksanakan peran tersebut. Permasalahan bangsa
semakin hari kian kompleks, misalnya korupsi semakin memprihatinkan, hukum bisa
dengan mudah dibeli, biaya pendidikan mahal, kemampuan ekonomi rakyat semakin
merosot dan sebagainya. Semua itu memanggil nalar kritis mahasiswa ikut
berperan mencari solusi untuk penyelesian terbaik. Karena itu, diskusi menjadi
kegiatan wajib bagi mahasiswa. Tanpa diskusi, mahasiswa bukanlah mahasiswa.
Bagian
trilogi yang kedua, publikasi. Kegiatan yang satu ini mencerminkan budaya
akademisi yang merupakan hasil berpikir ilmiah berdasarkan indikator logis,
empiris dan rasional. Tidak bisa disangkal, menulis merupakan bagian wajib bagi
akademisi termasuk mahasiswa. Salah satu fakta empirik yang membuktikan hal
itu, mahasiswa diwajibkan menulis karya ilmiah; skripsi, tesis, desertasi
sebagai syarat kelulusan dan memperoleh gelar dari perguruan tinggi. Selain
itu, hasil diskusi (bagian pertama trilogi) perlu dipublikasikan agar semua
elemen bangsa tahu apa yang seharusnya dilakukan.
Aksi menjadi
bagian terakhir dari trilogi tugas mahasiswa yang harus dipenuhi. Aksi ini
merupakan upaya nyata mahasiswa untuk ikut berpartisipasi aktif dalam membangun
umat dan bangsa. Aksi bisa dilakukan melalui audiensi, demonstrasi, bakti
sosial dan lainnya. Tentu bangsa Indonesia tidak lupa, salah satu yang
menyebabkan lenyapnya Orde Baru berganti dengan era reformasi adalah demontrasi
mahasiswa dan elemen lainnya. Hal itu membuktikan demontrasi bagian penting
kegiatan mahasiswa yang harus dijalankan.
Mahasiswa
tanpa diskusi akan mati, disebabkan keringnya nalar kritis akademisi. Tanpa
diskusi, mahasiswa hanya akan berapologi. Jangankan publikasi, onani
intelektual pun tidak akan terjadi. Mahasiswa yang seharusnya menjadi makhluk
pemberani tidak lagi punya taji, apalagi berharap aksi. Karena itu, mahasiswa
tanpa diskusi, publikasi dan aksi tidaklah layak disebut mahasiswa. Itu sama
saja mahasiswa telah mati.
Dua puluh
tahun lalu, mahasiswa bersatu untuk menjatuhkan rezim yang tidak pro rakyat.
Membuat sejarah baru untuk perubahan (REFORMASI) , yang hingga sekarang menjadi
suatu sejarah kebangkitan seluruh Mahasiswa Indonesia. Namun apa yang terjadi
sekarang? mahasiswa hanya mencari aman saja, tanpa mempedulikan nasib
rakyat. Agent of change, agen of control hanya semboyan
belaka, dimana mahasiswa?
Ketika
rakyat mengeluh, hanya mahasiswa yang mampu menyuarakan. Bangkit, bangkit,
bangkit, ORBA sudah mulai kembali. Mari satukan gerakan mahasiswa, bangkitkan
mereka dari tidur lelapnya, agar mereka tau apa yang sedang terjadi pada Negri
kita ini. Jangan takut jatuh dan terantuk,dengan terbentur kalian akan
terbentuk. Rakyat tidak butuh IPK mahasiswa, yang mereka butuhkan hanya aksi
nyata untuk menyuarakan hak-haknya yang telah di rampas oleh penguasa. Wallahu
A’lamu bi al-Shawab.
Oleh :
Laskar Hidzib, Seorang pembelajar yang sedang mencari semacam tempat
bersastra. Karena sementara yang diucap lenyap, tulisan akan tetap.
0 Komentar