Muhammad Ali Fuadi* |
Tidak sedikit
masyarakat bahkan pendakwah sekalipun yang salah kaprah dalam memahami hubungan
agama dan nasionalisme yang telah berjalan beriringan di Indonesia. Kedua
entitas tersebut dianggap memiliki jalan masing-masing, alias tidak bisa
disatukan dalam satu wadah yang utuh.
Ketidaktahuan
terhadap integrasi antara agama dan nasionalisme tersebut seringkali juga
membawa hubungan antar sesama bangsa menjadi tidak harmonis, seperti munculnya
ujaran kebencian di berbagai ruang. Ada yang lebih pelik lagi, bahkan ada
kalangan yang secara jelas ingin mengganti nasionalisme yang terpatri dalam
ideologi Pancasila, kemudian menggantinya dengan ideologi lain.
Memang, nasionalisme pada
awal kelahirannya sangat sekuler. Lahirnya gagasan tersebut dilatarbelakangi
oleh perlawanan kaum ilmuan terhadap pandangan gereja tentang “religio
integralisme catholic”. Pada waktu itu sikap gereja terhadap para
ilmuan terbilang sangat ekstrim, karena temuan-temuan baru para ilmuan dianggap
tidak sesuai dengan doktrin gereja.
Karena gereja
memiliki otoritas penuh begitu juga dalam hal politik (kenegaraan), maka
siapapun dengan pemikiran bagaimanapun yang itu bertentangan dengan gereja akan
divonis mati. Galileo Galilei (1564-1642) adalah termasuk salah satu korban
kebengisan gereja pada saat itu karena temuan-temuan fenomenalnya.
Karena sikap gereja
yang demikian, akhirnya para ilmuan mendeklarasikan pandangan bahwa agama dan
negara harus dipisahkan. Karena jika tetap diintegralkan, maka ilmu pengetahuan
akan stagnan dan tidak maju.
Sehingga konsep
negara yang sebelumnya menganut pandangan agama (baca: gereja), kemudian
ditiadakan. Dan selanjutnya konsep negara didasarkan pada bangsa. Nah, paham
inilah yang selanjutnya dikenal sebagai nasionalisme. Walhasil, setelah
pemisahan antara agama dan negara tersebut, negara-negara di Eropa semakin
mengalami kemajuan sangat pesat, terutama dalam bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Melihat ilmu
pengetahun dan teknologi yang semakin maju di belahan bumi Eropa karena
pemisahan antara agama dan negara, maka konsep nasionalisme yang diusung tersebut
kemudian dijadikan referensi negara-negara lain untuk mendapatkan kemajuan yang
sama. Termasuk negara-negara yang mayoritas penduduknya Islam, seperti Turki
setelah sistem khilafah resmi dibubarkan Mustafa Kemal Attaturk (1924). Bahkan
nasionalisme sekular di Turki sangat ekstrim, hingga agama di ruang publik
tidak diizinkan sama sekali.
Nasionalisme Religius
Setelah melalui
jalan yang panjang, pemisahan antara agama dan agama ternyata menemukan kendala
baru. Kendala yang paling fatal adalah agama menjadi tidak bisa
diimplementasikan dalam kehidupan karena tidak berjalan dengan negara
(politik). Jamak diketahui bahwa kekuasaan politik sangat berperan dalam segala
aspek kehidupan. Karena agama dipisahkan, jadi tidak terimplementasi. Padahal,
dalam agama ada hal-hal yang bersifat publik, yang musti diimplementasikan
dalam politik.
Mohammad Nasih,
pakar politik UI, menjelaskan bahwa nampaknya permalasahan itu yang dilihat dan
direnungi para pendiri bangsa kita. Sehingga mampu merumuskan ideologi
nasionalisme yang khas Indonesia; ideologi nasionalisme yang sangat religius.
Kita tahu bahwa awal merumuskan ideologi ini, pendiri bangsa kita terkotak
menjadi dua kubu, di antaranya kubu nasionalis dan Islamis. Melalui perdebatan
panjang akhirnya mereka mampu melahirkan ideologi Pancasila; ideologi yang di
dalamnya menyajikan nasionalisme dan agama dalam satu kesatuan yang utuh.
Terbukti mereka
mampu merumuskan dan mengonstruksi negara yang religius, dengan dasar ideologi
Pancasila yang dalam sila pertamanya terpampang “Ketuhanan Yang Maha Esa”,
menyimbolkan keagamaan yang telah menyatu dalam nasionalisme. Sekalipun Islam
sebagai agama dengan penganut terbesar di Indonesia, tidak menjadikan Islam
sebagai ideologi.
Karena founding
fathers kita mengerti bahwa entitas yang ada di nusantara sangat
bejibun jumlahnya, tidak hanya agama saja. Hal ini membuktikan bahwa Pancasila
merupakan jalan tengah di antara semua entitas yang ada di nusantara, baik
Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA). Pada intinya, nasionalisme
Indonesia memiliki ciri khusus dibandingkan nasionalisme-nasionalisme yang
dianut negara lain, apalagi nasionalisme sekular yang digunakan di
negara-negara barat.
Sekalipun
negara-negara barat memiliki kemajuan yang gemilang, tetapi pendiri bangsa kita
tidak meniru apa adanya terkait konsep nasionalisme yang ada di sana;
nasionalisme yang dengan karakter asli sekuler. Ini sekaligus menunjukkan bahwa
pendiri bangsa kita sangat cerdas dan visioner. Mereka melihat budaya dan
perbedaan-perbedaan lain yang ada di nusantara, sehingga berkeyakinan bahwa
tidak mungkin nasionalisme Indonesia disamakan dengan nasionalisme yang ada di
negara-negara barat.
Melihat sejarah
yang panjang ini, masihkah ada orang atau sekelompok orang yang belum yakin
dengan Pancasila sebagai ideologi bangsa kita? Silahkan jawab sendiri dengan
berpikir panjang terlebih dahulu. Seluruh elemen bangsa harus mampu menjaga
ideologi bangsa kita dengan sebaik-baiknya. Jangan sampai hasil
pemikiran-pemikiran cerdas para pendiri bangsa yang dikonstruksi dalam
Panncasila dikalahkan oleh sekelompok orang yang ingin menggantinya dengan
ideologi lain, yang belum tentu mampu menaungi semua entitas yang ada di
nusantara. Wallahu a’lam.
0 Komentar