Ilustrasi |
Presiden Ir. Joko Widodo (Jokowi)
menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional (2017) kepada empat tokoh di Istana
Negara, Jakarta, Kamis (9/11). Pemberian gelar ini berdasarkan Keputusan
Presiden RI nomor 115/TK/Tahun 2017 per tanggal 6 November tentang Penganugerahan
Gelar Pahlawan Nasional. Keempat tokoh tersebut adalah TGKH Muhammad
Zainuddin Abdul Madjid dari NTB, Laksamana Malahayati dari Aceh, Sultan Mahmud
Riayat Syah dari Kepulauan Riau, dan Prof. Drs. H. Lafran Pane dari Daerah
Istimewa Yogyakarta (Republika.co.id, 09/11/2017). Pemberian
anugerah gelar Pahlawan Nasional ini sesuai dengan usulan dari Kementerian
Sosial RI kepada Presiden Jokowi tentang permohonan pemberian gelar pahlawan
Nasional.
Keempat tokoh yang dianugerahi gelar
kepahlawanan tersebut tentu telah terbukti nyata memberikan pengorbanan
berharga bagi Indonesia, sehingga mereka layak mendapatkan kehormatan itu.
Entah karena kebetulan atau tidak, yang menarik, keempat pahlawan ini adalah
tokoh-tokoh muslim yang sangat berpengaruh pada masanya—bahkan dampak
perjuangannya masih sangat dirasakan hingga hari ini. Pertama, pendiri
Nahdlatul Wathan (NW), Tuan Guru Kiai Haji (TGKH) Muhammad Zainuddin Abdul
Madjid. Ia menjadi pahlawan nasional pertama dari Bumi Seribu Masjid, NTB. Ia
mendirikan organisasi NW dengan proses dan jalan cerita yang cukup panjang.
Nahdlatul Wathan, sebagaimana arti dalam Bahasa Indonesianya, didirikan sebagai
bentuk kebangkitan Tanah Air untuk menghadapi ancaman penjajah. Selain itu,
doktrin dan ilmu yang diajarkan NW juga menjadi salah satu faktor kuatnya
persatuan di daerah Nusa Tenggara Barat.
Kedua, Laksamana Malahayati dari
Kesultanan Aceh, adalah salah satu di antara perempuan hebat dalam sejarah
Indonesia. Nama ketika dia lahir adalah Keumalahayati. Malahayati merupakan
putri dari Laksamana Mahmud Syah. Kakeknya dari garis ayahnya adalah Laksamana
Muhammad Said Syah, putra dari Sultan Salahuddin Syah yang memerintah sekitar
tahun 1530–1539 M. Perempuan yang merupakan panglima perang angkatan laut dari
Kesultanan Aceh itu mampu menghadapi berbagai ancaman penjajah, seperti
Purtugis, Belanda, dan Inggris. Malahayati merupakan laksamana wanita pertama
di dunia. Mengenai penganugerahan ini, terdapat nilai tersendiri, khususnya
bagi para perempuan, untuk menjadikannya inspirasi supaya dapat lebih berperan
lagi dalam konteks kehidupan bernegara, baik dalam ranah domestik maupun publik.
Ketiga, Sultan Mahmud Riayat Syah (1760-1812)
dari Kepulauan Riau (Kepri). Mahmud Riayat Syah dilantik menjadi Sultan pada
1761 M pada usia belia, saat masih berusia dua tahun. Ia menjadi pemimpin
yang getol melakukan perlawanan terhadap penjajah di Kerajaan Johor-Riau-Lingga
dan Pahang. Selain itu, Sultan Mahmud juga merupakan tokoh yang peduli dengan
keberagaman. Berbagai suku di antaranya Bugis, Flores, Jawa dan Melayu dapat
bersatu di bawah kepemimpinan Sultan Mahmud. Dia bukan hanya berjasa kepada
Indonesia, melainkan juga untuk Malaysia. Bahkan, Sultan Mahmud Riayat Syah
dikabarkan juga akan mendapatkan gelar kepahlawanan dari negeri Jiran tersebut.
Tentu ini menjadi kembanggaan tersendiri bagi bangsa Indonesia, terutama umat
Islam dan masyarakat Kepri.
Keempat, Lafran Pane, adalah pendiri
organisasi mahasiswa Islam pertama di Indonesia, yakni Himpunan Mahasiswa Islam
(HMI). Selain itu, ia juga menjadi tokoh muda perintis kemerdekaan dan upaya
mempertahankannya. Sampai saat ini, HMI yang ia dirikan pun telah dan terus
memunculkan kader-kader yang mengisi peran-peran strategis di berbagai posisi.
Mulai dari dunia politik yang meliputi pemerintahan, legislatif, dan yudikatif,
dunia pendidikan dan juga sektor ekonomi, hingga para aktivis dan pejuang LSM
yang jujur dan tangguh. Lafran Pane merupakan putra tokoh dan budayawan Sutan
Pangurabaan Pane. Ia merupakan adik dari dua sastrawan kondang; Sanusi Pane,
sastrawan Angkatan Pujangga Baru yang sangat terkenal; dan Armijn Pane
sastrawan yang menerjemahkan surat-surat RA Kartini dan sahabatnya di negeri
Belanda Ny Abendanon, yang diberi judul “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Jasa
Lafran telah membekas bagi Indonesia.
Komitmen Keislaman dan Keindonesiaan
Keempat tokoh di atas, tentu sudah
tidak diragukan lagi keberislamannya. Selain karena lahir dari ulama atau
lingkungan religius, mereka telah membuktikan diri sebagai muslim yang
memperjuangkan Islam semasa hidupnya. Jika Sultan Mahmud Riayat Syah dan
Laksamana Malahayati berjuang dengan kerajaan atau kekuasaan sacara langsung,
TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid dan Lafran Pane memilih jalan sunyi
mendirikan organisasi sebagai alat untuk memperjuangkan Islam dan tanah airnya.
Kedua cara ini sama-sama memiliki implikasi yang luar biasa bagi umat Islam,
hingga kini. Mereka adalah orang-orang yang sangat berkomitmen kepada Islam.
Nabi Muhammad saw bersabda, “al-diinu al-nashiihat; (agama adalah
komitmen)”, sebagai penganut agama Islam, mereka telah menunjukkan komitmen
tersebut. Tokoh-tokoh itu meyakini bahwa Islam merupakan way
of life yang mencerahkan peradaban dunia. Namun, apakah mereka hanya
berpikir tentang perjuangan Islam dan umatnya?
Pertanyaan ini tentu telah terjawab
dengan dianugerahkannya gelar pahlawan nasional kepada tokoh-tokoh itu. Selain
berjuang demi agama yang diyakininya, mereka berjuang untuk tanah air tercinta.
Komitmen mereka terhadap negeri ini tidak diragukan lagi. Sultan Mahmud Riayat
Syah dan Laksamana Malahayati berhadap-hadapan langsung memimpin perlawanan
terhadap penjajah. Hal ini merupakan wujud pembelaan mereka terhadap tanah air
yang ditinggalinya. Perjuangan mereka sebelum Indonesia merdeka menujukkan
bahwa sudah ada keyakinan dan visi jauh ke depan terkait akan terbentuknya
sebuah negara bernama Indonesia.
Sementara TGKH Muhammad Zainuddin
Abdul Madjid, dengan mendirikan Nahdlatul Wathan (1953), yang dalam Bahasa
Indonesia berarti “kebangkitan tanah air”, membuktikan bahwa ia membela
negaranya. Begitu juga dengan Prof. Drs. H. Lafran Pane muda yang ikut dalam
memperjuangkan kemerdekaan, menandakan bahwa dia cinta tanah airnya. Komitmen
keindonesiaan Lafran semakin terlihat dengan berdirinya HMI pada 5 Februari
1947 yang memiliki dua tujuan dalam AD/ART HMI pertama: 1) mempertahankan
Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia; 2)
menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam. Komitmen kebangsaan inilah
yang membuat Panglima Besar Jenderal Sudirman dalam pidatonya di depan
mahasiswa Yogyakarta pada peringatan Milad HMI pertama pada 1948 mengatakan
bahwa HMI adalah harapan masyarakat Indonesia.
Dengan segala dinamikanya, HMI sampai
saat ini tetap concern menyuarakan dan mengembangkan doktrin
keislaman dan keindonesiaan kepada anggotanya, guna melahirkan kader umat dan
kader bangsa. Banyak tokoh intelektual dari HMI yang berjuang keras dan
berhasil membangun persenyawaan yang serasi mengenai hubungan antara Islam dan
negara, sehingga Pancasila sebagai dasar ideologi Indonesia dapat diterima
dengan tulus oleh umat Islam. Dalam konteks ini, HMI tentu saja bahu membahu
dan bersinergi dengan ormas-ormas Islam lainnya.
Kita bisa menyebut beberapa tokoh
yang lahir dari kawah candradimuka HMI, di antaranya, Nurcholish Madjid, Akbar
Tanjung, Mahfud MD, Jusuf Kalla, Mohammad Nasih, Mintaredja, Ahmad Syafi’i
Maarif, Mar’ie Muhammad, Jimly Asshiddiqie, Yusril Ihza Mahendra, M. Nuh,
Hamdan Zoelva. M. Nasir, Dawam Raharjo, AM Fatwa, Muhadjir Effendy, Amien Rais,
Pramono Anung, Gus Ipul, Yahya Cholil Staquf, Anies Baswedan, Ferry Mursyidan
Baldan, dan segudang nama tokoh lainnya, yang bisa dicek komitmen keislaman dan
kebangsaannya.
Semua penjelasan di atas semakin
menguatkan pemahaman bahwa Islam bisa berjalan dinamis di dalam sebuah Negara,
terutama sekali Indonesia; negara dengan kekayaan suku, agama, ras, dan sumber
daya yang luar bisa. Indonesia yang memiliki dasar negara bernama Pancasila,
sangat compatible dengan ajaran Islam yang merupakan rahmat
bagi seluruh alam (rahmat li al-alamiin), bahkan diduga keras
Pancasila merupakan simplifikasi pokok-pokok ajaran Islam yang disarikan oleh
ulama-ulama Islam terdahulu. Hubungan keduanya menyangkut hubungan
historis-filosofis yang tidak bisa dipisahkan. Pancasila Lahir dari keinginan
umat Islam untuk berislam secara kaffah sekaligus dalam waktu
yang bersamaan dapat menjalin hubungan baik dengan saudara sebangsa dan setanah
air untuk mencapai kehidupan yang harmonis dalam bingkai nation-state, NKRI.
Menurut hemat penulis, saat ini ada
dua kelompok besar yang membahayakan NKRI hubungannya dengan Islam dan
Indonesia. Mereka terus berupaya menggoyang jalinan relasi antarkeduanya,
mengancam sendi-sendi persatuan dan kesatuan. Pertama, kelompok
yang mencoba menghilangkan agama, terutama Islam dari Indonesia, dengan cara
membenturkan antara (umat) Islam dan Indonesia. Mereka menyebarkan hoax dengan
seluas-luasnya bahwa Islam itu agama privat, tidak perlu dibawa kepada urusan
publik; bahwa Islam itu radikal dan identik kepada kekerasan, dan lain
sebagainya. Kelompok ini terindikasi sebagai neo-komunisme dan/atau kelompok
berpaham sekuler ala Barat. Kedua, golongan yang ingin
mengganti dasar negara Pancasila dengan ide khilafah yang tekstualis, tanpa
berpikir konteks dan relevansi sosio-historis-kultural dari bangsa
Indonesia. Mereka ingin mendirikan “Negara Islam”, yang jelas-jelas
ditolak oleh kelompok nasionalis dan dilepaskan dengan ikhlas dan cerdas oleh
kaum Islamis pada awal kemerdekaan pada masa perumusan bentuk dan dasar negara
1945.
Penulis melihat bahwa kedua kelompok
tersebut perlu diwaspadai, supaya jangan sampai diberikan jalan sedikitpun.
Bangsa Indonesia harus menyadari bahwa meskipun umat Islam di Indonesia
merupakan penduduk mayoritas, akan tetapi dengan penuh kesadaran dan tanggung
jawab, mereka tidak memaksakan Indonesia menjadi negara Islam. Sebab, mereka
menyakini bahwa dalam negara Pancasila, Islam tetap dapat diamalkan dengan
penuh kegembiraan. Ini merupakan kekayaan tiada tara yang harus dijaga oleh
generasi kita. Perlu kesadaran bersama bahwa sudah sepatutnya kita, terutama
anak-anak muda harus meneladani ide, gagasan, dan tindakan para pahlawan, yang
memiliki komitmen keagamaan dan kebangsaan secara bersamaan. Agama diperlukan
dalam menyelenggarakan negara, sedangkan negara diperlukan untuk melindungi
pemeluk agama menjalankan kepercayaan yang diyakininya. Karena itu, perlu
dikampanyekan: “Islam Yes; NKRI Yes”. Wallahu a’lam bi al-shawaab.
*Mokhamad Abdul Aziz, Ketua Umum HMI Komisariat Dakwah
Walisongo Semarang Periode 2013-2014, Ketua Umum PW GPII Jateng.
0 Komentar