Subscribe Us

header ads

Peran Santri dalam Membangunan Moral Bangsa

Oleh: Andika Khoirul Huda
Santri Pesantren Darul Afkar Semarang dan Mahasiswa UIN Walisongo Semarang;
Tanggal 22 Oktober, ditetapkan sebagai Hari Santri Nasional oleh presiden Joko Widodo, yang terinsiprasi dari resolusi jihad yang difatwakan oleh Hadratus syaikh sekaligus pendiri Nahdlotul ‘Ulama (NU) K.H Hasyim Asy’ari. Hari Santri ini ditujukan agar para santri yang ada di tanah air ini senantiasa mencintai Negara Kesatuan republik Indonesia, menjaga kedaulatan NKRI dan juga mencintai Pacasila sebagai ideologi bangsa.
Asal usul perkataan santri ini yang menurut Dr. Nurcholish Madjid menyebut sekurang-kurangnya dua perkataan. Pertama, makna santri ini berasal dari perkataan sastri, yang dalam bahasa Sansekerta berarti melek huruf, atau istilahnya santri adalah kaum literasi. Maksudnya yaitu seorang santri setidaknya harus tahu agama (melalui kitab-kitab), bisa menuliskannya dan paling tidak bisa membaca al-Qur’an.
Kedua, perkataan santri berasal dari bahasa jawa yaitu dari kata cantrik, yang berarti sesorang yang selalu mengikuti seorang guru kemanapun guru itu menetap. Maksudnya disini, seorang santri yang mengikuti kyai dengan tujuan dapat belajar menganai suatu keahlian. Dalam tradisi sekarang ini, cantrik masih bisa dijumpai di banyak pesantren terutama yang masih Salafi atau yang masih murni mengajarkan ajaran Islam.
Membahas santri tak bisa dilepaskan dari yang namanya pondok pesantren, yang merupakan wadah atau lembaga pendidikan seorang santri untuk mengkaji ilmu agama. Kiprah pesantren di Indonesia sendiri identik dengan makna keislaman, selain itu juga mengandung unsur keindonesiaan (indigenous). Karena pesantren tak melulu budaya keislaman murni, tapi sudah ada semenjak zaman Hindu-Budha dan ketika Islam datang hanya meluruskan atau mengislamkan lembaga pendidikan.
Secara historis pesantren lahir diwaktu yang tepat, karena pada zaman dahulu pesantren merupakan media untuk mendapatkan kajian ilmu agama. Namun, di zaman sekarang ini, pesantren sangat fungsional untuk menghadapai tantangan zaman dan juga arus globalisasi, apakah akah tetap mempertahankan unsure tradisional pesantren atau ikut arus globalisasi, termasuk didalamnya perkembangan era sekarang ini, yaitu ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sistem pendidikan Indonesia sekarang ini banyak dikotomi dan mengadopsi budaya-budaya barat. Bagaimana tidak, rata-rata sekolah di Indonesia tengah mengesampingkan pembelajaran agama dan lebih mengedapnkan unsur-unsur pendidikan umum, karena pengaruh globalisasi dan ilmu pengetahuan teknologi yang semakin meningkat sehingga mau tidak mau harus mengikuti pola perkembangan zamannya.
Padahal sistem pendidikan umum sekarang ini lebih menekankan pada pembelajaran semata tanpa membangun karakter dan pendidikan moral dari seorang anak. Hal tersebut bisa dilihat dari semakin banyak moral anak bangsa yang semakin hari kian mengkhawatirkan, yang merupakan dampak dari pengaruh globalisasi yang semakin menjadi-jadi, disisi lain globalisasi dapat menguntungkan dan dilain pihak globalisasi dapat sebagai penghancur.
Merosotnya moral sebagian masyarakat Indonesia itu merupakan getah dari globalisasi dan pengaruh ilmu pengetahuan dan teknologi, karena kemudahan berinteraksi yang hampir tidak ada celah antar bangsa. Hal ini membuat bagaimana menempatkan ilmu pengetahuan dan teknologi ke dalam pengawasan nilai-nilai agama atau morala dan etika.
Meskipun sekarang ini banyak bermunculan pesantren yang yang bernuansa modern, yang memasukan kajian ilmu pengetahuan dan teknolgi kedalamnya, bahkan pendidikan umum pun dimasukkan sebagai upaya menjawab tantangan zaman, namun porsi yang dimasukan harus balance dengan ilmu-ilmu agama. Bahkan banyak pesantren yang mendirikan lembaga pendidikan berbasis umum seperti, SMA, SMP dan SD.
Dengan berbagai tuntutan untuk mengikuti zaman dan berbagai persoalan-persoalan, pesantren merupakan sistem pendidikan yang mengedepankan nilai-nilai ajaran agama, khusunya mendidik moral dan karakter bangsa. Selain itu, dalam keseharian seorang santri juga megedankan moral dan tata karma dalam segala aktifitasnya, sehingga secara tak sadar pola tersebut akan terbentuk sendiri.
Pengaruh pesantren yang terkesan asing atau terisolir dari dunia luar juga menepis masuknya pengaruh arus globalisasi, karena para santri dalam menggunakan teknologi sangatlah terbatas, mungkin pada jam-jam dan hari tertentu bisa menggunakannya. Dan hari selain itu dimanfaatkan untuk mengakaji ilmu-ilmu agama dan membentuk moral dan karakter baik dengan bekal pengajaran seperti, ilmu fiqh, nahwu-sharaf, ‘Aqoid, tafsir, hadis, bahasa arab dan sebagainya.
Semakin mendalami kajian ilmu-ilmu agama, merosotnya moral mungkin bisa diminimalisir, karena selalu berpegang teguh pada ajaran dan tuntutan agama Islam, yaitu al-Qur’an dan hadis. Dan bagian ajaran-ajaran agama yang bersifat asasi itu membentuk karakter atau yang dalam bahasa pengetahuan sosial sebagai welthanschauung, yang dalam Islam itu membicarakan tiga masalah pokok, yaitu Tuhan, Manusia dan Alam.
Tujuan pendidikan pesantren yaitu membentuk manusia dan para santri memiliki kesadaran tinggi bahwa ajaran agama islam merupakan waltanschuung yang bersifat kompleks. Selain itu, pondok pesantren sebagai wadah diharapkan memiliki kemampuan tinggi untuk mengantisipasi tantangan-tantangan dan tuntunan-tuntunan hidup dalam konteks dan ruang untuk Indonesia di masa mendatang dan masa kini.

Pendidikan karakter yang baik dan benar dari dini membuat generasi bangsa Indonesia bermoral, yaitu mengedapankan unsur-unsur hablum minallah dan hablum minannas. Dengan bekal yang didapatkan berupa ilmu-ilmu agama, para santri diharapkan dapat menjadi generasi yang mileniall yang dapat membangun Indonesia kearah lebih baik, dan juga memutus rantai generasi korup yang semakin menjadi-jadi untuk menjadikan Indonesia maju. Wallahu a’lam bi al-Shawab

Posting Komentar

0 Komentar