Subscribe Us

header ads

Santri; Ujung Tombak Harapan

Oleh: Muhammad Ismail Lutfi
Komandan Brigade GPII
Koordinator Wilayah (Korwil) Jawa tengah
Pada bulan Oktober 2015 lalu Presiden Indonesia, Bapak Joko Widodo resmi memberikan keputusan berdasarkan Keppres (Keputusan Presiden) Nomor 22 tahun 2015 tentang penetapan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. Seluruh santri tanah air dan juga para kyai menyambut ketetapan itu dengan sangat bergembira. Tak heran jikalau saat ini peringatan hari santri tersebut di gelar dengan sangat meriah, banyak lomba- lomba yang di selenggarakan tiap daerah untuk memperingati hari santri ini. Sampai-sampai banyak penyelenggaraan karnaval tiap Kabupaten/Kota demi menyambut tanggal 22 tersebut.
Santri telah di didik menjadi kelompok masyarakak yang memiliki komitmen tinggi. Santri memiliki ciri khas tersendiri yang tidak dimiliki kelompok lain. Contoh saja kemandirian, mereka memiliki jiwa kemandirian yang baik. Bayangkan mereka semenjak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), atau bahkan Sekolah Dasar (SD) sudah jauh dari orang tua. Mereka meninggalkan tempat tinggalnya untuk menimba ilmu. Berusaha untuk mandiri berjuang bersama rekan-rekannya.
Santri juga memiliki pengabdian yang baik, bahkan saking patuhnya terhadap guru atau kyai mereka tak pandang apa yang di perintahkan kyainya tersebut pasti ia lakukan. Ini mustahil jika masyarakat pada umumnya bisa mematuhi orang lain sampai seperti itu. Dalam praktiknya santri mempunyai peluang besar untuk mengabdikan dirinya kepada Negara, karena mereka sudah terlatih sejak berada di pesantren.
Banyak budaya- seperti di atas yang memang singkron dengan kebutuhan negara ini. Sampai-sampai budaya gotong royong yang dulu pernah dimiliki oleh bangsa, yang perlahan mulai musnah. Banyak kepentingan-kepentingan individu dan kelompok yang menjadikan gotong-royong tak lagi di terapkan. Padahal Indonesia dapat meraih kemerdekaanya dengan gotong royong yang tanpa pandang bulu, suku, ras, dan agama sekalipun. Akan tetapi saat ini semakin terkikis oleh hedonism, konsumerisme dan pragmatisme yang semakin mempengaruhi masyarakat.
Dalam pesantren jiwa gotong royong masih sangat kental, sesama santri saling membantu dan tolong menolong. Hal ini disebabkan karena mereka mempunyai tujuan yang sama, yakni menimba ilmu dan dengan kondisi yang sama, jauh dari keluarga.
Indonesia membutuhkan jiwa-jiwa yang mampu saling membantu, bergotong royong demi kemajuan bersama, terlebih saat ini masyarakat semakin berfikir bahwa dengan kekayaan sumber daya alam mereka yang banyak bisa menjamin kemajuan negara, padahal tidak. Karena hakikatnya bangsa yang maju di tentukan oleh intelektual yang di milikinya. Contoh saja bangsa eropa yang memiliki sumber daya alam sedikit, mereka bisa maju lantaran ilmu yang merekaa kuasai.
Berbeda dengan Indonesia yang memiliki kekayaan alam melimpah, akan tetapi pola pikir masyarakat yang terlanjur membudaya menjadikan masyarakat belum mampu memaksimalkan apa yang mereka miliki, bahkan kekayaan alamnya di manfaatkan oleh sekelompok bangsa asing yang mereka gunakan untuk memajukan negara mereka.
Pembangunan kearah yang lebih baik haruslah terus di fikirkan, apalagi tantangan perkaderan generasi muda yang saat ini semakin berat. Santri yang menjadi sekelompok masyarakat di harapkan mampu kembali hadir untuk memberikan berbagai peran dan kontribusinya bagi bangsa.
Indonesia mempunyai harapan besar kepada generasi penerusnya yang nanti akan menggantikan pemimpin-pemimpin sekarang. Santri menjadi salah satu harapan yang negara nantikan. Dengan pengetahuan dan keilmuan cukup yang mereka peroleh dari pesantren, diharapkan mampu memberikan perubahan bagi bangsa ini.

Dalam sejarah pejalanan Indonesia, perjuangan santri perlu di perkenalkan kembali sebagai salah satu upaya untuk menumbuhkan semangat berbangsa di kalangan santri. Respon baik santri terhadap wajibnya berjuang melawan penjajah perlu di tumbuhkan kembali. Karena banyak masyarakat yang belum mengetahui peran santri

Posting Komentar

0 Komentar