Oleh: Nurul Mukaromah |
Tanggal 22 Oktober kemarin,
Indonesia memperingati Hari Santri Nasional. Sorak-sorai gebyar-gebyar perayaan
hari santri di mana-mana. Ini adalah momentum untuk mengingatkan kepada bangsa
Indonesia, terutama sekali para santri untuk mengetahui bagaimana peran santri
terhadap NKRI. Produktivitas santri sebenarnya sangat luar biasa, makatentu
harus dibenahi dan diarahkan, jangan sampai santri tersisihkan dalam peradaban
dewasa ini. Semakin banyaknya arus globalisasi, semakin banyak juga orang paham
dengan peta peradaban, sedangkan santri yang tidak paham, jelas akan
terpinggirkan. Oleh karena itu, santri harus melek peradaban, harus melek
teknologi santri jangan sampai santri terpacu dengan dunia pesantren saja.
Namun yang terpenting adalah santri harus punya komitmen bisa mewarnai bukan
diwarnai, artinya ruh Islam ini harus dijadikan dasar berpijak dan mewarnai
peradaban dunia, bukan sebaliknya.
Santri yang tangguh dan
menghadapi globalisasi artinya, santrihari ini memang harus bahkan melek
peradaban. Sebab, sejarah negeri ini membuktikan, peran santri tidak dapat
disangsikan lagi dalam kontribusinya kepada ibu pertiwi. Karena santri,
sebagaimana dinyatakan oleh ulama kharismatik asal klaten, mendiang KH Muslim
Rifai Imam Puro (MbahLiem) itu, “Haruslah mampu santri memerankan diri sebagai
kuli (siap bekerja keras), kiai (siap mengamalkan ilmu dan doa), komando (siap
menjadi pemimpin yang piawai mengambil keputusan, bijak, serta berwibawa).
Itulah salah satu kunci membuka gerbang peradaban masa depan”.
Menghadapi globalisasi, tentu
meniscayakan tidak adanya kata hibernasi. Santri harus melek peradaban. Santri
harus selalu gelisah, sehingga berupaya memperbaikiapa yang belum baik. Mengapa
demikian? Sebab percaturan di dunia global hari ini luar biasa. Betapa
canggihnya diplomasi gerakan radikal jihad dengan suntikan “Jihad” kepada kaum
muda mampu mengguncang cosmos (keseimbangan) bumi ini. Betapa rapuhnya moral
manusia “ada yang mengatasnamakan Tuhan melecehkan Tuhan. Ada yang mengatasnamakan
Negara merampok Negara. Ada yang mengatasnamakan rakyat menindas rakyat”.
Begitu kurang lebih kata gus mus.
Lalu kepada siapakah bangsa ini berharap jika bukan kepada para santri? Dan santri yang tangguh adalah santri yang sadar peradaban. Santri yang sadar peradaban pasti senantiasa belajar dan cinta pengetahuan untuk membangun masa depan. Belajar adalah kuncinya. Dengan belajar, otomatis akan banyak baca literature. Dengan banyak baca, maka jendela dunia itu akan terbuka. Dan dari situ kemudian mulai membangun peradaban masa depan sebagai upaya menjawab tantangan globalisasi.
Lalu kepada siapakah bangsa ini berharap jika bukan kepada para santri? Dan santri yang tangguh adalah santri yang sadar peradaban. Santri yang sadar peradaban pasti senantiasa belajar dan cinta pengetahuan untuk membangun masa depan. Belajar adalah kuncinya. Dengan belajar, otomatis akan banyak baca literature. Dengan banyak baca, maka jendela dunia itu akan terbuka. Dan dari situ kemudian mulai membangun peradaban masa depan sebagai upaya menjawab tantangan globalisasi.
Namun, hari ini nampaknya ada miss-interpretasi dalam memaknai belajar. Seringkali orang membayangkan bahwa kuliah untuk meluluskan pekerjaan. Hingga mencapai satu titik, dimana terdapat data sebagaimana dilansir oleh Badan Pusat Statistik (BPS) 2015 mengatakan bahwa Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Agustus 2015 mencapai sekitar angka 7,56 juta orang. Dan sekitar 600 ribu pengangguran itu adalah “SARJANA”.
Mentalitas dan rasa cinta
terhadap pengetahuan perlu dipertanyakan. Kenapa ulama masa lalu, katakanlah
Daulatain Umayyah dan Abbasiyah bisa sedemikian mampu menggoyang dunia? Ya,
karena mereka cinta pengetahuan. Jika kuliah hanya untuk mencari pekerjaan, itu
keliru. Sebab, jika demikian harga diri ilmu itu akan ditukar dengan profesi.
Dan jika bekerja hanya untuk mendapatkan uang, segitu layakkah ilmu ditukar
dengan uang yang yang tak seberapa?
Jangan tukar pengetahuan itu
semata karena uang. Sebab dengan pengetahuan bisa membangun peradaban. Michael
Focault mengatakan bahwa knowledge is power (pengetahuan adalah kekuatan). Yang
artinya, pengetahuan itu mampu menghasilkan berbagai kreativitas sesuai dengan
sejauh mana power itu diproduksi. Artinya dalam konteks ini adanya rasa “cinta”
dalam suatu proses tholabul ‘ilmi. Jika didasari dengan rasa cinta yang
sungguh, maka bisa dipastikan yang terjadi adalah keberkahan dari ilmu itu
sendiri. Dan jika pengetahuan didasari rasa cinta, maka ilmu itu tak terhingga
harganya. Karena yang ada hanyalah pengabdian untuk ilmu atas nama cinta.
Literasi Santri
Literasi Santri
Meskipun santri yang tinggal
dipenjara suci dan hidup serba dibatasi, akan tetapi, alangkah lebih indah dan
baik jika hal tersebut tidak menjadi halangan untuk berkreasi dan tetap update
informasi. Karena santri merupakan pribadi yang memiliki spiritualitas,
intelektualitas serta memiliki sikap sosial yang tinggi. Maka sangat penting
bagi santri untuk ikut berpengaruh dan ikut andil dalam menyebarkan informasi
baik di dunia nyata maupun di dunia maya, karena semua itu sudah berkaitan
dengan yang namanya teknologi.
Santri adalah agen risalah
kenabianya itu orang-orang yang dipersiapkan untuk ngrumat umat (membina
masyarakat), tak dipungkiri akhir-akhir ini peran santri sudah dinanti-nantikan
oleh masyarakat untuk membawa perubahan dan menggerakan masyarakat kearah yang
lebih baik. Karena sekarang banyak timbul keresahan-keresahan yang ditimbulkan
oleh kesalahpahaman tentang suatu ajaran maupun informasi yang beredar, maka
dari itu apabila santri katro dakwah pun akan KO.
Karena di zaman sekarang
media perang sesungguhnya adalah teknologi melalui internet ataupun dunia maya,
bukan lagi bersaing dalam media perang seperti zaman-zaman dahulu. Maka santri
sebagai individu yang berilmu terutama dalam bidang agama, akan tetapi tidak
menutup kemungkinan mumpuni juga di bidang-bidang ilmu lainnya, sehingga akan
mampu bersaing dan berpengaruh dalam sejarah mengubah peradaban santri juga
harus melek teknologi.
0 Komentar