Subscribe Us

header ads

Merdeka dari (Mentalitas) Budak

Secara legal formal, penjajahan di Indonesia memang telah tiada. Perjuangan mati-matian yang dilakukan para pahlawan telah berhasil mengusir penjajah dari bumi nusantara. Namun, ketika melihat kondisi Indonesia saat ini, apakah kemerdekaan sudah benarbenar dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia. Tampaknya, kemerdekaan hanya milik sekelompok orang.

Pasalnya, masih banyak rakyat negeri ini yang belum merasakan kemerdekaan yang sesungguhnya. Bagi mereka, kemerdekaan hanya bersifat semu. Di balik semua kesemuan kemerdekaan itu, sebenarnya apa yang menyebabkan Indonesia sampai sekarang tidak segera menjadi negara maju? Padahal, penjajah sudah tidak ada.

Menarik sekali jika kita berpikir lebih jauh tentang mengapa bangsa ini jauh dari kata-kata maju. Maju, mundur, atau stagnasi sebuah negara sangat ditentukan oleh mentalitas warga yang ada di dalamnya, terutama sekali mental pemimpinnya. Mental baik warga negara akan mengantarkan sebuah negara menjadi baik. Begitu pula sebaliknya.

Tak hanya itu, mentalitas sangat memengaruhi bagaimana sebuah bangsa akan melangkah ke depannya. Sebab, tidak ada negara maju yang ditopang oleh warga negara bermental inferior atau terbelakang.

Lihat saja negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Cina, pasti warga negaranya menganggap bang sanya lebih unggul jika dibandingkan bangsa lain. Spirit itulah yang kemudian membuat mereka "unggul" dalam pergaulan internasional. Paradigma bernegara dalam konteks ini memang sangat penting. Sebab, paradigma akan menentukan langkah ke depan sebuah bangsa. Tanpa paradigma maju, tidak akan sebuah negara akan maju.

Mental inferior ini sama seperti mentalitas yang dimiliki oleh budak-budak pada zaman dahulu. Disebut demikian karena secara umum budak adalah manusia yang tidak memiliki kontrol atas diri mereka sendiri. Para budak telah kehilangan hak sehingga membuka kesempatan pihak-pihak lain untuk menguasai dirinya. Dalam jangka yang panjang, para budak akan menganggap eksploitasi itu sebagai bagian dari "takdir" hidup. Sebab, para budak merasa seolah berada dalam zona yang mau tidak mau mereka harus menikmatinya.

Dalam sejarah Islam, budak menjadi ladang beramal, yang barang siapa memerdekakan mereka, akan mendapat pahala yang besar. Sebagaimana yang termaktub dalam Alquran. "Bukankah Kami telah memberikan kepadanya dua buah mata, lidah, dan dua buah bibir?

Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan? Tetapi, dia tidak menempuh jalan yang mendaki lagi sukar. Tahukah kamu apakah jalan yang men daki lagi sukar itu? (Yaitu) melepaskan budak dari perbudakan...." (QS al-Balad: 8-13).

Secara konseptual perbudakan memang telah sirna dari muka bumi ini. Namun, secara substansi sebenarnya perbudakan hanya berubah wujud, yaitu perbudakan yang awalnya berbentuk sistem yang membudaya, sekarang ini berubah bentuk menjadi mentalitas.

Terjajah mental budak Masyarakat Indonesia saat ini telah terjajah mentalitas budak. Jika kita berpikir logis, tentu tidak mungkin negara yang mempunyai kekayaan alam yang melimpah serta jumlah penduduk yang banyak ini tidak menjadi negara yang maju. Hal ini sangat ironis jika dibandingkan dengan negara kecil dan hanya mempunyai penduduk yang sedikit;
Singapura. Negara bekas jajahan Inggris itu menjadi salah satu negara di Asia yang mendapatkan predikat sebagai negara maju.

Menurut Global Finance (media bisnis terkemuka Amerika Serikat), Singapura menempati peringkat empat negara terkaya di dunia dengan pendapatan per kapita 52.840 dolar AS. Bahkan, Singapura menjadi negara dengan kualitas hidup nomor satu di Asia.

Sungguh ironis ketika kita membandingkan Indonesia dengan negara tetangga pada masa sekarang. Jika dulu ada alasan masih dijajah bangsa lain, sekarang tidak alasan lagi untuk tidak maju. Namun, realitas yang terjadi justru berbanding terbalik. Jika mengingat tahun 1990 an, kita melihat banyak sekali negara tetangga yang mengirim pelajar dan mahasiswanya ke Tanah Air.

Namun, yang terjadi sekarang ini sebaliknya. Pelajar atau mahasiswa Indonesia lebih bangga jika berhasil bersekolah atau kuliah di negeri tetangga. Inilah mentalitas kebanyakan masyarakat Indonesia yang menunjukkan mentalitas inferior.

Sifat minder, inferior, tidak bangga dengan yang dimiliki, atau menyerah dengan keadaan merupakan sifat-sifat yang diwariskan oleh para pendahulu yang telah lama dijajah oleh para penjajah. Selain pejuang yang mempertaruhkan nyawa, ternyata ada orangorang yang menyerah dengan keadaan dijajah. Orang-orang itulah yang kemudian mewariskan cara berpikir, bersikap, dan bertindak kepada anak-anak mereka. Pewarisan sistem perbudakan baru ini kemudian berubah menjadi sebuah tradisi sehingga sampai sekarang masih berjalan dan bila dibiarkan akan sangat bahaya.

Usir penjajah itu!
Penyakit mentalitas inilah yang sesungguhnya telah meracuni bangsa Indonesia. Itulah sebabnya sampai sekarang Indonesia tidak beranjak dari ketertinggalan meskipun secara formal telah merdeka. Oleh sebab itu, sangat perlu bagi Indonesia untuk mengusir "penjajah-penjajah" yang menghambat kemajuan bangsa ini. Pertama kali yang harus dilakukan adalah mengingat kembali tujuan bangsa yang telah dicitacitakan oleh para pendiri bangsa.

The founding fatherssesungguhnya telah membuat simbol-simbol yang harapannya bisa menjadi semangat bagi rakyat Indonesia. Simbol-simbol itu, di antaranya adalah Istana Merdeka dan Masjid Istiqlal di dekatnya. Nama Istilqal berasal dari bahasa Arab yang artinya merdeka atau mandiri. Dari kedua simbol itu, seharusnya rakyat Indonesia mulai menyadari untuk berpikir maju, bukan berpikir ala budak.

Bulan Agustus ini merupakan waktu yang tepat untuk memulai semua itu. Sebagai penerus pahlawan masa lalu, sudah saatnya kita berjuang mengusir penjajah yang sesungguhnya. Sebab, Indonesia tidak akan maju jika "penjajah" bermental itu budak belum lenyap dari bangsa ini. Wallahu a'lam bi alshawab.

MOKHAMAD ABDUL AZIZ
Pengajar di Monash Institute, Director of Center for Democracy and Religious Studies (CDRS) Kota Semarang

Sumber: Harian Republika

Posting Komentar

0 Komentar