Subscribe Us

header ads

Ketika Demokrasi Berkawan Korupsi

Hampir setiap negara di dunia mengkalaim dirinya sebagai negara demokratis. Tidak terkecuali Indonesia, negara dengan kekayaan sumber daya yang luar biasa. Klaim ini diperkuat dengan penghargaan yang diraih Indonesia pada 12 November 2007 lalu, dengan diwakili Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yaitu penerimaan Democracy Award dari International Association of Political Consultants (IAPC). Sejak itu pula, negeri mayoritas muslim tersebut diakui sebagai negara demokratis ke-3 terbesar di dunia setelah Amerika Serikat dan India.
Demokrasi menjadi pilihan Indonesia sebagai sistem atau jalan politik untuk mewujudkan cita-cita negara-bangsa Indonesia. Selain karena Indonesia yang plural dan multikultural, demokrasi menjadi harapan untuk menghilangkan penyakit kekuasaan yang bernama korupsi. Perdana Menteri Inggris David Cameron ketika berkunjung ke Indonesia pernah mengatakan bahwa Indonesia telah menginspirasi Inggris dan beberpa negara berkembang, terutama negeri muslim untuk mengembangkan demokrasi. Cameron menyatakan bahwa ada empat faktor yang dapat mengancam demokrasi Indonesia.
Pertama, mereka yang percaya terhadap kekuatan otoriter dapat menciptakan keamanan suatu negara. Kedua, kelompok elite yang korupsi dan membajak sistem negara atas dasar kekayaan dan keistimewaan. Ketiga, terdapat kaum ekstremis yang percaya bahwa demokrasi dan Islam tidak sejalan. Keempat, kelompok etnis yang tidak mau menerima pembauran dari etnis lainnya. Ketiga ancaman itu tentu harus menjadi PR bersama yang harus diselesaikan tuntas. Namun, dari ketiga itu, faktor pertama lah yang menjadi ancaman terbesar lagi menghawatirkan.
Banyak teori yang menjelaskan bahwa demokrasi merupakan sistem politik yang paling tepat untuk memberantas korupsi. Namun, sepertinya teori tersebut tidak sepenuhnya berlaku di Indonesia. Pada praktiknya, demokrasi sebagai sistem yang legal (sementara ini) telah “gagal” menjadikan Indonesia negara yang bebas korupsi. Demokrasi justru terancam oeh korupsi yang terus merajalela, menjalar di segala sendi kehidupan, baik dari tingkat yang paling rendah sampai kepada tatasan tertinggi negeri ini.
William Liddle mengatakan bahwa demokrasi telah menjadi alat korupsi karena korupsi justru dilakukan melalui mekanisme demokrasi. Jika korupsi terus menggejala di alam negeri demokrasi, tentu ini menjadi suatu yang paradoksal. Bukan karena demokrasi merupakan sistem yang sempurna, tetapi demkrasi hanya digunakan sebagai legalitas untuk membentuk tirani, yang salah satunya dengan cara melakukan tindakan korupsi oleh elite tertentu.
Korupsi memang telah menjadi penyakit klasik dalam kekuasaan. Seolah sudah menjadi hal yang wajar dalam membahas kekuasaa, muncullah anekdot yang berbunyi: Power tends to corrupt, and absolute power corrups absolutly, (kekuasaan cenderung untuk disalahgunakan, dan kekuasaan mutlak pasti disalahgunakan)Pernyataan ini meminggirkan sistem kerajaan sebagai sistem yang ideal dan disebut sistem yang pasti korup. Dalam konteks demokrasi di Indonesia, ternyata pernyataan ini berlaku untuk sistem yang dianggap “sempurna” itu.
Indonesia memiliki pengalaman buruk hubungannya antara korupsi dengan demokrasi. Sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, Indonesia tentu tidak sepantasnya memberikan tempat yang nyaman bagi tumbuh kembangnya korupsi. Fakta ini sekaligus menunjukkan hal yang kontraproduktif dengan cita-cita demokrasi yang diteorikan oleh para ahli. Teori-teori yang dikemukakan oleh Sandholtz dan Kotzle (2000), Blake dan Martin (2006), atau Hellman (2008) yang menjelaskan bahwa semakin demokratis suatu negara, akan semakin efektif pemberantasan korupsinya, menjadi sebuah teori yang terkesan klise semata.
Dalam hal, lain memang ada kemajuan tentang penerapan demokrasi di Indonesia. Harus diakui bahwa kebebasan berpendapat dan berekspresi di depan publik menjadi hal yang berkembang pesat, meskipun pada akhirnya juga memiliki banyak dampak kurang baik dalam kehidupan. Pemilu umum yang diselenggarakan oleh negara dengan prinsip Luberjurdil dipilih secara langsung oleh rakyat seolah menyatakan bahwa Indonesia sangat demokratis dalam menentukan siapa pemimpinnya, meski pada akhirnya lebih banyak lahir pemimpin jahat nan korup.
Apa namanya jika bukan demokrasi prosedural? Demokrasi Indonesia seolah hanya menekankan prosedur dan cenderung melupakan subtansi demokrasi yang tujuannya adalah untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Mahfud MD menyatakan bahwa reformasi yang dibayar sangat mahal dengan melakukan amendemen atas UUD 1945, agar elemen-elemen penting demokrasi lebih mendapat tempat yang kuat di dalam konstitusi, ternyata tak membuat korupsi berkurang. Jangankan berkurang, korupsi semakin menjadi-jadi.
Berangkat dari fenomena itu, banyak yang akhirnya mencaci demokratisasi secara ugal-ugalan yang coba diterapkan di Indonesa, sampai-sampai mengamandemen UUD 1945 yang sekarang ini mulai di sadari dampak negatifnya. Padahal, masih sangat tajam dalam ingatan, bagaimana proses “mendewakan” demokrasi pascareformasi yang dianggap sebagai antitesis dari Era Orde Baru otoritarian yang dihinakan karena terkenal dengan praktik KKN-nya.
Demokrasi Indonesia, yang dalam bahasa Mohammad Nasih disebut sebagai demokrasi ultraliberal, telah melahirkan teori baru bahwa demokrasi bukan lagi berorientasi kepada kemakmuran rakyat. Dalam bukunya berjudul Kuasa rakyat, Saiful Mujani mengatakan bawa demokrasi di Indonesia bukan lagi sistem politik yang dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, melainkan sudah menjadi dari rakyat, oleh elite, dan untuk elite. Kekayaan negara yang seharusnya digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, kini telah berganti untuk kemakmuran oknum pejabat
Meski ada kemajuan di bidang pemerantasan korupsi, namun tidak bisa dimungkiri bahwa, pascareformasi, pemerantasan korupsi belum menunjukkan hal yang efektif. Dikatakan belum, karena ada banyak pelaku korupsi yang ditangkap oleh lembaga penegak hukum dan dijatuhi vonis oleh pengadilan, tetapi pada saat selanjutnya terdapat pejabat lain yang terjerat korupsi dengan modus dan cara yang kian canggih.
Padahal, upaya untuk menghilangkan praktik korupsi dari negeri ini sudah dilakukan sedemikan rupa. Salah satu yang dilakukan untuk memberantas korupsi di Indonesia adalah dibentukanya lembaga antirasuah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002. Semenjak berdiri, lembaga ini telah menangkap ratusan pejabat (yang diduga) korupsi, dan dari sekian itu sudah sangat banyak yang divonis oleh pengadilan dan akhirnya mendekam di penjara—meski juga ada banyak yang dilepaskan begitu saja. Namun, lembaga ini tidak lepas dari ancaman pelemahan. Alih-alih ingin menjalankan tugas dengan baik untuk mewujudkan harapan publik, KPK sering dirundung masalah yang mengakibatkan dirinya tidak produktif.
Permasalahan ini tidak hanya terjadi sekali dua kali, tetapi berkali-kali dan membuat sebagian publik menaruh emosi. Karena itu, penyelematan lembaga pemberantasan korupsi ini harus dilakukan oleh seluruh elemen, terlebih pemerintah dan parlemen, dimulai dari seleksi calon pimpinan sampai kepada pengawasan pelaksanaan tugas. Selain itu, Polri dan Kejaksaan sebagai mitra penegak hukum yang juga memiliki tugas memberantas korupsi, harus dapat bersinergi dengan KPK dengan mengendepankan asas kepercayaan (trust) dan transparansi.
Mereka yang mengaku pejuang demokrasi mestinya tidak akan membiarkan negara ini berkawan atau bahkan bersabahat dengan korupsi. Sebab, demokrasi punya janji yang besar untuk memberantas korupsi. Kalau sudah memakai sistem demokrasi, korupsi juga berarti sistem itu tidak jalan. Jangan sampai eksekutif, legislatif, dan yudikatif justru berkomplot membohongi rakyat (dari, oleh, untuk rakyat) dengan menampakkan wajah demokrasi tetapi yang ada hanyalah kleptokrasi. Dengan kata lain, kleptokrasi berkedok demokrasi. Wallahu a’lam bi al-shawaab.

Posting Komentar

0 Komentar