Subscribe Us

header ads

Pemuda Defisit Mental


Isnaini Mubarokah*
Mental merupakan sebuah sifat yang berhubungan dengan pikiran. Selain itu, mental juga berhubungan dengan total respon emosional dan intelektual dari seseorang kepada orang lain. Sehingga mental berkaitan erat dengan sikap emosional. Banyak yang mengartikan bahwa bermental itu orang yang pemberani. Tidak salah sepertinya. Namun, lebih respek pada lingkungan. Pun tidak serta merta peduli akan lingkungan, namun lebih dari sekedar pemberani.
Atas hal ini nampaknya pengupasan kata mental perlu dikaji kembali. Mengingat kesalahan akan perspektif masyarakat yang sedemikian rupa. Mental berkaitan erat sama sikap emosional. Pandai secara kognitif, tidak menentukan akan kepandaian beremosionalitas. Saling menghargai, juga saling mengerti. Demikianlah kiranya gambaran akan mental.
Flashback ke tahun 1928 silam dan sebelumnya. Melihat kobaran semangat para pemuda saat itu membuat hati nurani tersentil. Mereka rela jam tidur disita secara paksa, rela makan ala kadarnya. Berjuang, berjuang, dan berjuang yang ada demi kebebasan jati diri juga bangsa. Jangankan makan dan tidur, baju saja memakai karung goni. Harta dirampas paksa oleh para koloni. Bekerja rodi menjadi pekerjaan wajib untuk pemuda pribumi. Tanpa patah semangat, mereka bersatu padu dengan sisa kekuatan yang mereka miliki.
Seiring waktu berjalan, tepat pada tanggal 27-28 Oktober 1928 para pemuda khususnya mahasiswa mengucapkan ikrar yang menyentuh kalbu. Ikrar yang diucapkan secara serempak di Batavia (Jakarta) yang dihadiri oleh berbagai perwakilan mahasiswa seluruh Hindia Belanda (Indonesia). Mempertahankan tak semudah mendapatkan. Hal itulah yang  belum menjadi cerminan pemuda. Semangat semakin menyusut, karena merasa kebebasan telah tergenggam. Pergerakan perjuangan pun mulai abu-abu. Tak terlihat juga terdengan teriakan semangat.
Sempat terbesit dalam nurani pemuda pada saat itu untuk mengubah keadaan. Dengan semangat yang menggebu, pemuda berikrar setia dengan tujuan bertanah air indonesia, berbangsa Indonesia, dan berbahasa Indonesia. Dengan keadaan yang sedemikian rupa. Kelaparan dan penyakitan tidak sedikit pun membuat ciut nyali semangat mereka. Justru semakin menggerakkan sanubari untuk mempercepat kebebasan yang dulu pernah ada. Merebut kembali hak yang menjadi milik pribadi secara mutlak yang pada akhirnya diambil paksa oleh koloni.
Pemuda saat itu menyadari bahwa jika bukan saya, siapa lagi yang akan berjuang. Pemuda adalah tombak masa depan. Selain itu pemuda merupakan pemimpin pada masa mendatang. Begitulah kiranya yang diyakini boleh pemuda pada saat itu.
Devisit Mental Pemuda Masa Kini
Melihat realita pemuda masa kini membuat hati teriris. Semangat pemuda,  jati diri pemuda, sikap pejuang juga pemimpin para pemuda membuat hati teriris. Sangat ironis, semua itu hampir tidak pernah diketemukan kembali. Jikalau masih ada para pendahulu yang masih sugeng, pasti ia sedang menangis. Menyadari betul bagaimana pada kala itu ia beserta kawannya berjuang dengan menggila. Berbalik 180° dengan pemuda masa kini. Bahkan dengan cucu cicinya pun ia sulit menggertak. Semua telah terlenakan oleh fasilitas.
Orang bilang, Gus Dur tidur sejatinya tidak tidur. Ia tidur pun tetep berfikir akan bagaimana merubah dan bagaimana menggugah gairah semangat pemuda. Sedangkan sekarang, orang terjaga saja tidak berfikir. Sama halnya dengan mayat hidup. Hidup hanya karena roh masih bersetubuh dengan raga, namun tidak dengan pikirannya. Perlahan lahan semakin tak bernyawa maind setnya.
Realita pemuda sekarang, membuat kita geleng kepala. Sangat ironis akan gerakan perjuangannya. Tidak hanya pemuda sebenarnya, golongan tetua pun demikian. Keterbelakangan pemuda tak lain juga karena golongan tua. Tauladhan pemuda dapat diambil dari para tetua. Ketika tetua melakukan pergerakan, hati pemuda kemungkinan akan tersentil. Sehingga pemuda dapat mengikuti gerakan para tetua untuk menegakkan kebenaran.
Terbentuknya mental ada kalanya juga karena keturunan. Bisa juga karena latihan. Semisal, sejak kecil telah digembleng sedemikian rupa untuk menjadi pribadi yang pemberani. Dalam hal ini, Orang tua sangat berperan penting.
Melihat tingkah pemuda sekarang bikin geleng-geleng. Dunia maya semakin menggila. Sadar atau tidak sadar, itulah penjajahan yang sebenarnya. Tak nampak namun berbekas nyata. Sangat terlihat akan efek sampingnya. Tidak sepenuhnya sosmed negatif. Namun, perlu diwaspadai betu akan efek yang bermunculan.
Berbagai kabar beredar dari sosmed yang melenakan. Hoaks semakin menari-nari. Sosmed yang seharusnya untuk menyampaikan informasi, justru ditutup dengan gosip ataupun berita hoaks. Dahulu sebelum berbagai software bermunculan, komunikan sangatlah banyak pengaruhnya. Salah satu yang masih sangat melekat adalah berita harian radio. Yang setiap saat menggemakan keadaan rakyat Indonesia.
Abu-abu sudah pergerakan pejuang. Hampir tak nampak lagi kobaran semangat pemuda. Semua telah dianggap beres.namun ketika ada secuil masalah, mereka tergertak untuk segera beramai-ramai menyelesaikan. Khususnya pada problem golongan.
Sayang beribu sayang zaman semakin menua, namun maind set mengeropos. Banyak pemuda yang pandai, namun hanya untuk dirinya. Selain itu, kepandaiannya tidak dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Sekalipun pandai, adakalanya justru melenakan diri sendiri, sehingga jiwanya tak tergertak untuk membuat perubahan yang signifikan. Selain itu kurang berfikir kritis akan kondisi negri yang semakin sekarat.
Kondisi yang tak jauh beda dengan masa koloni dahulu. Kekeringan, kelaparan, kekrisisan, dan lain-lain, itulah yang sedang terjadi. Bedanya, dahulu mereka ketiadaan karena kerampasan, namun sekarang memang murni tidak punya. Bukan karena sebab semua itu terjadi.
Di penghujung tahun ini, banyak terjadi pemberontakan karena pemerintah yang kurang respek pada rakyat.  Berjanji tanpa bukti, juga tidak peduli pada jeritan rakyat. Padahal ia sendiri yang mencalonkan diri untuk menjadi jembatan rakyat kepada petinggi. Kondisi inilah yang disebut dengan devisit mental pemuda.
Hendaknya menjadi seorang pemuda itu tangguh nan bertanggung jawab. Tidak hanya untuk pribadi, namun untuk negri. Memang semua itu berawal dari diri sendiri, namun sadarlah hidup tidak untuk sendiri. Manusia tuhan ciptakan untuk bersosial. Dengan begitu, kuatkan mental juga tekad untuk merubah masakini menjadi masa emas di waktu mendatang.
*Peserta Tsaqafah PW GPII Jateng Asal Demak, Mahasiswa FST UIN Walisongo yang menjadi Penulis Lepas.
Sumber: Militan.co

Posting Komentar

0 Komentar