Muntoqo, S.Sos.I |
Pada dasarnya, pemilihan umum
merupakan sebuah mekanisme demorkasi untuk pergantian pemimpin yang bisa
dilaksanakan siapa saja dan kapan saja. Tidak hanya pemilihan untuk mengisi
jabatan pemerintahan dan legislatif seperti tahun 2019 ini, tetapi juga bisa
dilakukan dalam lingkup yang kecil. Pemilihan kepala desa atau tingkat yang
lebih rendah; RT-RW, misalnya. Sesungguhnya, bahkan sejak dini kita telah
belajar berdemokrasi. Di TK atau SD, telah diajarkan bagaimana siswa memilih
ketua kelas dengan cara musyawarah. Pada tingkat SMP dan SMA, pemilihan Ketua
Osis menjadi praktik demokratisasi di sekolah. Tidak berhenti sampai di situ,
pemilihan dalam lingkup kampus, untuk memilih Presiden BEM (Badan Eksekutif
Mahasiswa) dan SEMA (Senat Mahasiswa), juga menjadi catatan bagaimana kita
telah belajar berdemokrasi sejak kecil hingga dewasa.Pemilu (Pemilihan Umum) adalah suatu
proses memilih dan dipilih, yang bertujuan untuk mengisi jabatan-jabatan yang
ada. Pada 2019 ini, Indonesia akan melangsungkan Pemilu serentak untuk pertama
kalinya dalam sejarah. Masyarakat yang sudah memiliki hak pilih akan
menggunakan haknya untuk memilih presiden dan wakil presiden, DPR RI, DPD, DPRD
Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota pada 17 April 2019. Oleh sebab itu, pada
perta demokrasi lima tahunan ini, masyarakat harusnya mengambil peran aktif
untuk menyukseskannya. Tanpa peran aktif dari masyarakat, mustahil Pemilu ini
akan memunculkan pemimpin-pemimpin terbaik untuk Indonesia yang lebih baik.
Pemilu adalah proses menanam saham
harapan pada sebuah proses perbaikan negara. Semua yang berpartisipasi dalam
pemilu harus sadar bahwa output dari pemilu adalah harapan masyarakat yang
mesti amanah. Oleh sebab itu, tidak ada yang diperkenankan menggunakan
cara-cara curang yang bertentangan dengan konstitusi kita. Komisi Pemilihan
Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu harus independen dan menjadi lembaga
yang memiliki integritas yang tinggi, karena sangat rawan dengan berbagai
kepentingan. KPU tidak boleh memihak, apalagi terlibat dalam pengaturan suara.
Ini adalah tindakan yang akan merusak demokratisasi itu sendiri. Karena itulah,
peran KPU sebagai penyelanggara pemilihan umum harus senantiasa dipantau dan
diawasi, agar sesuai dengan aturan yang berlaku.
Dalam konteks inilah, peran Badan
Pengawas Pemilu (Bawaslu) dipertaruhkan. Ia harus mampu menjalankan tugas dan
wewenangnya, agar keberlangsungan pemilu berjalan aman tanpa kecurangan. Karena
itu pula, Bawaslu harus independen dan memiliki intergitas yang tinggi, karena
sesungguhnya juga sarat akan banyaknya kepentingan, baik calon presiden-wakil
presiden maupun calon anggota legislatif, dari tingkat Kabupeten/Kota sampai
tingkat pusat. Karena peran dua lembaga tersebut rawan untuk diganggu, baik
dari dalam maupun luar, maka diperlukan peran aktif masyarakat untuk memastikan
proses demokrasi berjalan dengan baik.
Kedewasaan dalam Berdemokrasi
Biasanya dalam pemilu, calon yang akan
dipilih akan menawarkan janji-janji yang kepada para pemilih. Dalam hal ini,
proses mempengaruhi secara persuasif (mengajak) akan banyak sekali dijumpai
diberbagai tempat. Proses ini disebut kampanye. Kampanye dilakukan sesuai
peraturan (UU Pemilu dan PKPU) dan yang telah dijadwal secara sistematis oleh
KPU. Dalam era digital yang makin tidak bisa dibendung ini, pengawasan soal
kampanye ini menjadi lebih sulit. Oleh karena itu, diperlukan kesadaran
kolektif untuk menjaga agar demokrasi kita berjalan sesuai aturan yang ada,
sehingga tercipta suasana yang sejuk dan kondusif.
Hal yang menjadi peluang sekaligus
tantangan, bahkan ancaman adalah hadirnya media sosial sebagai tempat orang
membicarakan politik dalam proses pemilu. Menjadi peluang, karena media sosial
bisa dimanfaatkan oleh KPU, Partai Politik, dan pihak-pihak yang terlibat dalam
Pemilu untuk mensosialisasikan program dan sekaligus media pendidikan politik.
Peluang ini harus diambil sebagai bentuk dari era disruption yang
tidak mungkin dihindari. Pada tataran ini, semua pihak perlu meletakkan
kerangka berpikir posisitif untuk memastikan fungsi dan wewenang masing-masing
pihak dapat dijalankan dengan baik.
Selanjutnya, menjadi tantangan dan
bahkan ancaman, karena media sosial menjadi tempat yang sangat liar, orang
bebas mengekspresikan ide, gagasan, emosi, dan sikapnya dengan terbuka. Dengan
kerangka positif, sebagaimana media sosial menjadi peluang di atas, tentu akan
memberikan nilai yang baik sesama masyarakat internet (netizen).
Namun, tidak sedikit dijumpai bahwa media sosial menjadi tempat yang angker,
menakutkan bagi sebagian orang. Di situlah, orang bebas berbicara tanpa ada
kontrol sedikitpun. Mereka tidak memikirkan dampai yang ditimbulkan akibat
ujarannya. Tidak jarang, ujaran-ujaran-ujaran itu cenderung mengandung
kebencian, menjatuhkan orang, menyerang, dan bahkan menghina sesama netizen.
Tindakan yang demikian itu, disadari
atau tidak, akan merusak tatanan demokrasi yang telah kita bangun bersama.
Sistem demokrasi diciptakan untuk menawarkan suksesi kepemimpinan secara damai
dan kondusif. Tidak ada pertumpahan darah dalam kamus demokrasi. Sebab,
demokrasi adalah antitesis dari sitem yang bar-bar itu. Jika dulu perang dan
konflik identik dengan darah, maka perang era digital (cyber war) sekarang
ini akan menimbulkan luka psikis yang dampaknya akan dirasakan di dunia nyata.
Oleh sebab itu, perlu kedewasaan untuk menjaga demokrasi ini, agar pemilu yang
diharapkan bisa menghasilkan output pemimpin berkualitas itu menjadi
kenhyataan. Sebab, pemimpin berkualitas hanya akan dipilih oleh pemilih
berkualitas. Begitu pula sebaliknya, dalam demokrasi, hadirnya pemimpin lemah
dilahirkan oleh pemilih yang lemah pula.
Oleh sebab itu, masyarakat sebagai
bagian terpenting dalam proses demokrasi harus memegang kendali dengan
menjadi smart citizen. Ada anekdot vox populi, vox
dei; suara rakyat, suara Tuhan. Ini menandakan bahwa penting bagi
masyarakat untuk cerdas dan mandiri dalam berdemokrasi. Kondisi ini akan
membawa kesejukan di Pemilu 2019. Tidak ada lagi ujaran kebencian dan
penghinaan di dunia maya dan nyata. Kita harus menikmati #2019 sebagai tahun
suka cita. Tahun digelarnya pesta demokrasi rakyat Indonesia. Karena itu, semua
harus menikmatinya, senyum sumringah, ketawa-ketawa bahagia, dengan terus
memupuk harapan bahwa Indonesia ke depan akan lebih baik di tangan
pemimpin-pemimpin baru mereka. Wallahu a’lam bi al-shawaab.
Oleh: Muntoqo, S.Sos.I, Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten
Jepara, Ketua Bidang Kaderisasi PW GPII Jateng 2013-2017
Sumber: Militan.co
Sumber: Militan.co
0 Komentar