Subscribe Us

header ads

Menyoal Kerjasama BRI Indonesia dan Tiongkok

One Belt One Road (OBOR), sekarang disebut Belt and Road Initiative (BRI) merupakan marshall plan Tiongkok yang telah diresmikan oleh Xi Jinping pada tahun 2013. Program ini focus pada pengembangan dan pembuatan rute baru perdagangan yang melewati negara-negara di Asia, Eropa, Timur Tengan, dan Afrika. BRI terdiri dari dua jalur, yaitu The Silk Road Economic Belt and The 21st-Century Maritime Silk Road. The Silk Road Economic Belt atau jalur darat yang menghubungkan Tiongkok dengan benua Eropa dan benua Asia (Eurasian), serta mengembangkan garis ekonomi antara Tiongkok dan Mongolia, Rusia, central Asia, dan South-East Asia. Sedangkan The 21st-Century Maritime Silk Road atau jalur laut (jalur sutra lama) yang menghubungkan pantai timur China ke Eropa melalui Laut China Selatan dan Samudera Hindia.
2018 merupakan lima tahun BRI berjalan. Ada banyak peristiwa terjadi dalam merealisasikan program tersebut. Contohnya di Malaysia, Mahathir seorang Perdana Menteri ke-7 Malaysia yang baru dilantik pada 10 Mei 2018 memutuskan untuk menghentikan kerjasama dengan Tiongkok yang proyeknya senilai US$ 23 miliar. Alasan Malaysia membatalkan tiga proyek, yaitu the East Coast Rail Link (ECRL), the Multi-Product Pipeline (MPP), dan Trans-Sabah Gas Pipeline (TSGP) karena Malaysia menimbang bahwa harga yang diberikan China terlalu tinggi, sehingga Malaysia membatalkan untuk melanjutkan proyek pinjaman tersebut (thediplomat.com, 27 Agust 2018).
Ambisi Tiongkok untuk menguasai perekonomian dunia serta menggeser posisi Amerika tidaklah mudah. Dalam merealisasikan program BRI ada sebagian pengamat yang ragu akan keberhasilan rencana besar Tiongkok ini, khususnya terjadi di negara-negara bagian Asia. Tidak dapat dipugkiri bahwa pembangunan infrastruktur dan tekhnologi di Tiongkok sudah lebih maju dibanding negara-negara Asia. Akan tetapi, kemudahan pembangunan yang terjadi di Tiongkok belum tentu mudah diterapkan di negara-negara lain, seperti Indonesia, Myanmar, Bangladesh, Pakistan, dan sebagainya. Sebab, kondisi politik dan sosiogeografis yang berbeda akan menciptakan hambatan yang berbeda pula.
Bergeser ke sebelah selatan Tiongkok, yaitu Myanmar. Negara Myanmar yang dulu bernama Burma terletak di persimpangan antara Asia Selatan dan Tenggara, dan menjadi pembatas Samudra Hindia dan Provinsi Yunnan, Tiongkok. Myanmar menjadi salah satu negara yang sangat strategis untuk menggabungkan Jalur Sutera maritim abad 21 dan perekonomian Jalur Sutra. Myanmar yang diwakili oleh Daw Aung San Suu Kyi seorang Penasihat Negara dari Myanmar ikut serta hadir dalam forum kerja sama Belt and Road di Beijing pada tahun 2017. Berdasarkan proposal China-Myanmar Economic Corridor (CMEC) terdapat 24 proyek dengan perkiraan anggaran US$ 2 miliar yang tidak termasuk proyek infrastruktur besar lainnya.
Di Yangon, sebagai bagian dari CMEC, Perusahaan Konstruksi Komunikasi China telah mengusulkan Kota Yangon Baru dengan pembiayaan senilai 100 miliar dolar, proyek pengembangan yang bertujuan untuk membangun kombinasi kota-kota baru, taman industri dan proyek pembangunan perkotaan.
Usulan kerjasama CMEC menjelaskan bahwa Myanmar akan mengijinkan arus langsung barang-barang Tiongkok ke wilayah selatan dan barat Myanmar. Sehingga Myanmar akan menjadi pusat perdagangan utama antara Cina, Asia Tenggara dan Asia Selatan. Dengan kerjsama tersebut dianggap mampu meningkatkan infrastruktur, ekonommi, konstruksi, manufaktur, pertanian, pengembangan sumber daya manusia, telekomunikasi, dan penelitian dan teknologi yang ada di Myanmar.
Namun, resiko yang jelas dalam proyek-proyek tersebut adalah apa yang disebut jebakan hutang dimana Cina meminjamkan sejumlah besar uang untuk pembangunan infrastruktur itu dan membebani negara peminjam dengan kewajiban hutang, sedangkan mereka akan mengalami kesulitan untuk mengembalikannya.
Berpindah ke Negara Sri Lanka, dunia internasional biasa menyebutnya Ceylon sedang berjuang untuk mengembalikan pinjaman kepada Tiongkok. Namun, negara ini sudah menyatakan tidak mampu membayar hutang-hutangnya kepada Tiongkok, sehingga secara resmi Sri Lanka menyerahkan pelabuhan strategis Hambantota kepada Tiongkok atas hutang yang sudah ditanggung selama 99 tahun lalu. Tentu hal demikian sangat mengancam kedaulatan negara.
Dari beberapa contoh negara di atas, sudah seharusnya Indonesia mempunyai perhitungan secara matang sebelum menjalin kerjasama dengan Tiongkok. Tahun 2017, Presiden Indonesia menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT), sebuah forum kerjasama internasional yang diadakan di Beijing. Pada pertemuan tersebut, Indonesia menawarkan beberapa proyek baru selain proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung, yaitu proyek pembangunan infrastruktur pelabuhan, bandara, akses jalan dan kereta api Bitung-Manado-Gorontalo. Lebih dari itu, pemerintah Indonesia juga menawarkan proyek perluasan pelabuhan Tanjung Kuala dan Kawasan industry terpadu di Sumatra Utara. Sejauh ini, proyek kereta cepat Jakarta-Bandung masih dalam proses pembebasan lahan, bahkan tidak ada peningkatan sampai tahap mana dan kapan akan selesai. Sedangkan, proyek-proyek lain yang sudah diajukan ketika forum KTT di Beijing, sampai saat ini belum ada kejelasan arahnya.
Belajar dari negara-negara Asia di atas, maka Indonesia perlu mempertimbangkan resiko jika menjalin kerjasama dengan Tiongkok. Jangan sampai Indonesia terkena “jebakan hutang” yang mengakibatkan Indonesia harus menyerahkan asset strategis negara untuk melunasi hutang seperti halnya Sri Langka. Proyek-proyek yang mudah diimplementaskan di Tiongkok seperti proyek Kereta Cepat, belum tentu mudah diterapkan di Indonesia. Kerjasama dengan Tiongkok harus saling menguntungkan. Kerjasama yang dibangun perlu mempertimbangkan aspek politik, sosial, dan budaya masyarakat Indonesia. Jika tidak demikian, maka Indonesia akan menambah pertumbuhan hutang, mengalami defisit, dan imigrasi warga Tiongkok akan memicu oposisi pemerintah, sehingga jika Indonesia dipimpin oleh Presiden baru di tahun depan dan membatalkan proyek-proyek kerjasama dengan Tiongkok yang dibangun oleh pemerintah sebelumnya, maka akan menimbulkan ketegangan bilateral bahkan multilateral, seperti yang terjadi di Malaysia. Melihat kondisi ekonomi Indonesia sekarang, maka pemerintah Indonesia perlu mawas diri dan lebih membenahi secara bertahap perekonomian dalam negeri dengan memaksimalkan SDA dan SDM yang dimiliki.
Oleh: Hidayatur Rohmah, Wakil Sekretaris Umum Bidang Internasional PW GPII Jateng, Mahasiswa Program Magister Fakusltas Ekonomi di Jilin University, Tiongkok
Sumber: Militan.co

Posting Komentar

0 Komentar