Subscribe Us

header ads

Seorang Ibu; Dalam Sabda dan Realita

Oleh: Khoirun Ni’am
Peserta Tsaqafah Asal Rembang, Ketua Umum HMI Komisariat Iqbal UIN Walisongo Semarang
Berbicara tentang ibu, setiap orang pasti sepakat bahwa ibu adalah pelita yang memancarkan sumber kehidupan bagi manusia. Kasih seorang ibu sangatlah sempurna. Sama sekali ibu tak mengharapkan apapun kecuali hanya ingin melihat anak-anaknya bisa tertawa. Semua jerih payah dengan tulus rela  ibu lakukan dengan harapan agar anak yang ia lahirkan bisa tumbuh sempurna dan bisa hidup dengan bahagia. Ibu rela terjaga demi menidurkan anak-anaknya, ibu rela berlapar-laparan agar anak-anaknya bisa makan kenyang, bahkan seorang ibu rela kekurangan asalkan bisa melihat anaknya berkecukupan.
Kasih sayang yang ibu berikan, laksana pelita yang selalu menyinari tanpa henti, hingga tak seorangpun mampu membalas kasih sayang dan perjuangan yang telah ibu lakukan. Mengingat sembilan bulan dahsyatnya penderitaan seorang ibu saat mengandung, mempertaruhkan nyawanya ketika detik-detik melahirkan, serta begitu hebatnya perjuangan seorang ibu yang rela menjaga kantuk dan menahan segala kepayahan demi menyusui dikala siang dan malam.  Sehingga, tidak berlebihan jika Rasulullah SAW memberikan isyarat bahwa ketaatan kepada seorang ibu tiga kali lipat jika dibandingkan dengan seorang ayah. 
Dalam sebuah riwayat, Rasulullah SAW ditanya oleh seorang sahabat yang datang kepada beliau. “Ya Rasul, kapada siapa saya pertama kali harus berbakti?”, Rasulullah SAW pun menjawab: “Ibumu”. Kemudian sahabat tersebut mengulangi pertanyaan yang sama hingga ketiga kalinya. Namun jawaban Raulullah SAW masih tetap sama yaitu Ibumu. Baru kemudian pada pertanyaan yang keempat, “Ya Rasul, lalu kepada siapa lagi saya harus berbakti?”, pada pertanyaan yang keempat inilah Rasulullah SAW baru mengatakan “Bapakmu”.(HR. Bukhari no.5971 dan Muslim no 2548)
Sabda Sang Rasul diatas menunjukkan bahwa kasih sayang atau ketaatan yang mesti seorang anak berikan kepada ibu, harus tiga kali lipat jika dibandingkan dengan seorang ayah. Meski begitu, ketika memahami dan mengamalkan pedoman tersebut, bukan berarti seorang anak diajari untuk mendiskriminasikan ayahnya. Namun, seorang anak harus bisa mengutamakan yang memang lebih utama berdasarkan tuntunan. Karena, tidak bisa dielakkan bahwa perjuangan kedua orang tua, yaitu ayah dan ibu, keduanya adalah satu kesatuan yang menjadi lantaran adanya manusia.
Jika perjuangan dan peran ibu dalam memberikan penghidupan kepada anak-anaknya yang menjadi alasan seorang ibu lebih istimewa atau memiliki tingkatan tiga kali lipat jika dibandingkan dengan seorang ayah, sampai-sampai dalam hadits lain Rasulullah SAW menyebutkan bahwa surga berada dilepakan kaki ibu, tentu hal itu tidaklah relevan. Karena, dalam eksistensi/ adanya manusia, seorang ayah pun memiliki peran yang sangat penting dan besar dalam menentukan terlahirnya seorang anak. Apalagi, seorang ayah adalah tulang punggung keluarga yang menjadi penentu bagaimana kehidupan dan penghidupan keluarga.
Memahami hadits Rasulullah yang menyebutkan kata ibu sebanyak tiga kali dan kata ayah yang hanya sekali dan itupun terletak setelah ibu, lalu gerangan apa yang melatar belakangi Rasulullah SAW memposisikan Ibu lebih dulu dan lebih banyak jika dibandingkan dengan seorang ayah?. Tentu Rasulullah SAW tidak sembarangan dan sudah pasti Allah  SWT telah memberikan petunjuk kepada Muhammad SAW sehingga beliau bersabda demikian.
Al-Qur’an, dengan gamblang menjelaskan bagaimana tingkat kepayahan seorang ibu jika dibandingkan dengan seorang ayah. Dalam bahasa al-Qur’an, kepayahan terbesar yang paling menyusahkan seorang ibu adalah ketika mengandung, melahirkan, serta ketika seorang ibu menyusui.(Q.S: Al-Ahqaf: 15) Dengan bersusah payah dan lemah yang bertambah, dalam fase mengandung, melahirkan, dan menyusui, seorang ibu rela mengorbankan segalanya dengan berusaha memberikan yang terbaik untuk anaknya.
Alasan mendasar mengapa seorang ibu disebut tiga kali dalam sabda Rasulullah SAW sedangkan yang keempatnya barulah ayah, hal itu tak lain karena memang, setidaknya ada tiga peran seorang ibu yang itu sama sekali tidak mampu diwakili atau bahkan sama sekali tidak bisa dilakukan oleh seorang ayah. Yaitu saat mengandung, melahirkan, dan ketika menyusui. Ketiga tahap atau fase ini, seorang ibu mau tidak mau harus benar-benar bisa menangungnya, sehingga dari sinilah Rasulullah SAW menyebut ibu sebanyak tiga kali dalam sabdanya.
Dalam proses kehidupan manusia, penulis menyimpulkan adanya lima fase peran orang tua; ayah dan ibu dalam menentukan kehidupan seorang anak. Kelima fase tersebut adalah fase formulasi, mengandung, melahirkan, menyusui, dan fase merawat. Dari kelima fase atau tahap tersebut, terdapat dua fase; fase formulasi dan merawat, yang memang peran ibu bisa saja digantikan dan atau bisa dilakukan bersama dengan seorang ayah. Namun, ketika melihat tiga fase  yang lain, sontak pikiran manusia otomatis akan tertuju pada sosok ibu.  Karena, hanya seorang ibulah yang bisa mengandung, melahirkan dan menyusui seorang anak. Mau disiasati bagaimanapun, tidak mungkin seorang ayah bisa mengandung, melahirkan, dan menyusui, sebab memang itu semua sudah menjadi kodrat Sang Ilahi.
Kewajiban untuk Memenuhi Hak
Kasih sayang dan kepatuhan seorang anak kepada orang tua, terutama ayah dan ibu haruslah kaffah atau menyeluruh. Dalam al-Quran, Allah SWT telah memberikan batasan etika bagaimana seorang anak harus bersikap kepada kedua orang tuanya; “Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah (kamu) berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah satu diantara keduanya atau keduanya sampai berusi lanjut dalam peliharaanmu, maka jangan sekali kali engaku mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan jangan pula engkau membentak keduanya, serta ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. Rendah kanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah ‘Wahai Tuhanku! Sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah menyayangi aku diwaktu kecil’.” (Q.S. Al-Isra’:23-24).
Berdasarkan surah al-Isra’ ayat 23 dan 24, Allah SWT memberikan rambu-rambu kepada umat manusia, agar jangan sampai berkata atau berbuat kasar, menyakiti hati, serta jangan sampai berbuat apapun yang itu dapat membuat murka kedua orang tua (selagi dalam koridor kebenaran). Dalam ayat tersebut, dengan sangat jelas bahwa berkata “Ah” saja kepada kedua orang tua dilarang oleh Allah SWT, apalagi berbuat atau berkata yang lebih dari itu.
Jasa bapak dan ibu kepada semua anaknya sangatlah besar. Hingga Allah SWT memerintahkan agar manusia mau mengingat jerih payah dan mau mendoakan ibu bapaknya. Jujur atu tidak, pada dasrnya, semua orang; seorang anak tak akan pernah bisa membalas jasa orang tua. Boro-boro membalas, menghitung jerih payah, usaha, dan semua perjuangan orang tua saja tidak mampu, apalagi membalasnya.
Sorang anak tidak akan pernah bisa menghitung berapa banyak hak-hak orang tua yang seharusnya dipenuhi, sebab manusia tidak memiliki kapasitas untuk mengitung satu demi satu hak-hak yang dimiliki oleh kedua orang tuanya. Islam menekankan kepada seluruh manusia, sedapat mungkin untuk bisa menghormati, memuliakan, serta menyucikan kedudukan orang tuanya. Dengan upaya maksimal, seorang anak harus memberikan perlakuan terbaik demi membahagiakan kedua orang tuanya. Karena, hanya dengan perbuatan minim itulah yang mampu seorang anak upayakan untuk mengingat jerih payah kedua orang tua. Wallahu a’lamu bi al-shawaab.

Posting Komentar

0 Komentar