Shobikhul Muayyad*
|
Para kandidat apabila terpilih
menjadi presiden dan wakil presiden harus bersedia meninggalkan, menyerahkan
segenap kemampuannya, demi kepentingan rakyat Indonesia. Seorang pemimpin harus
rela menjadi pelayan rakyat. Bahkan, seorang pemimpin yang sesungguhnya harus
mau menjadi 'budak' rakyat.
Istilah budak, apabila dikaitkan
dengan budaya Arab pagan pada saat itu, ialah seseorang yang diperjualbelikan,
dan siapa saja yang mampu membelinya, maka tuan budak berhak menyuruh atau
memanfaatkan budak-budak itu dengan seenaknya sendiri.
Begitulah substansi seorang pemimpin
yang sesunggunya. Mau menjadi pelayan rakyat demi kebahagiaan rakyat. Ambil
contoh Agus Salim, salah satu founding fathers bangsa Indonesia, yang
digambarkan oleh Kasman Singodimedjo dengan ungkapan leiden is lijden (memimpin
adalah menderita). Dulu, Sayyidina Ali, seorang sahabat Nabi yang dijuluki bab
al-ilm (pintu ilmu), mengatakan bahwa kebahagiaan seorang pemimpin adalah
seberapa besar penderitaan yang dialaminya dalam konteks mengurusi rakyat.
Maka, merupakan logika sesat apabila
ada seorang pemimpin yang merasa bahwa dirinya adalah seorang penguasa,
sehingga harus dihormati dan sebagainya. Hal seperti inilah yang harus
dihindari. Sebab, perasaan-perasaan seperti itu hanya akan menjadikan dirinya
sombong di hadapan Tuhan.
Alquran mengisahkan orang yang
seperti itu akan dilaknat Tuhan kelak. Sebut saja Fir'aun, Qarun, dan Hamman.
Kitab suci itu juga memberi contoh kepemimpinan yang baik, misalnya, Nabi Daud
ketika menjadi raja, juga seseorang yang bukan dari golongan nabi, Dzulqarnain
dan Thalut. Nabi Daud, Thalut, bahkan Agus Salim, merupakan abdi negara
yang baik. Seluruh kemampuan yang dimilikinya benar-benar dimaksimalkan hanya
untuk kepentingan rakyat semata. Bukan berdasarkan kepentingan pribadi.
Belajar dari Umar ra
Ketika membaca kisah Nabi Muhammad,
tentu kita juga akan menemukan sosok sahabat Nabi yang sangat luar biasa.
Dialah Umar bin Khatab. Sebelum masuk Islam, Umar adalah orang yang sangat
disegani di kalangan suku Quraisy. Sebab, ia terkenal dengan badan dan
perawakannya yang menakutkan.
Sebelum masuk Islam pula, Umar pernah
membunuh putrinya sendiri. Sebab, budaya yang terjadi pada saat itu ialah
patriarki, yaitu suatu budaya yang sangat mengunggulkan laki-laki, dan sangat
mendiskreditkan perempuan. Perempuan dianggap sebagai makhluk yang lemah, tidak
bisa perang, dan hanya merepotkan.
Namun, setelah masuk Islam atas
petunjuk Allah, Umar berubah 180 derajat. Terlebih, ketika ia menjadi khalifah
menggantikan Abu Bakar, Islam menjadi besar dan tenar. Namun, yang perlu
disoroti ialah keperibadian Umar sebagai sosok pemimpin. Meskipun tidak sedikit
orang yang takut akan sosok Umar yang menakutkan, bahkan digambarkan dalam
suatu hadis, setan pun takut apabila lewat bersimpangan dengannya. Akan tetapi,
khalifah kedua itu memiliki hati yang lembut, zuhud, dan bijaksana dalam
memimpin.
Dikisahkan, ketika ia berkunjung ke
daerah kekuasaannya, ia dijamu oleh gubernur setempat dengan jamuan yang
istimewa. Kemudian Umar bertanya, "Apakah ini merupakan merupakan makanan
yang biasa dimakan oleh rakyatmu?" Gubernur itu menjawab, "Tentu
tidak, ya Amirul mukminin. Ini merupakan hidangan istimewa untuk menghormati
baginda."
Sontak, Umar berdiri dan berkata
dengan nada yang keras, "Demi Allah, saya hanya ingin menjadi orang yang
paling akhir menikmatinya, setelah seluruh rakyat dapat menikamati hidangan yang
seperti ini, baru saya akan memakannya. Demi Allah, saya tidak akan memakan
hidangan ini, sebelum rakyatku terbiasa memakan hidangan seperti ini
pula." Begitulah sosok Umar yang sangat zuhud. Ia rela tidak makan demi
rakyatnya.
Begitulah, sosok yang harus dijadikan
contoh oleh para kandidat capres-cawapres 2014 yang apabila terpilih kelak.
Seorang pemimpin harus rela menyingkirkan segala kepentingan pribadi, demi
kepentingan rakyat. Karena sesungguhnya, seni memimpin adalah penderitaan yang
dialami demi menyejahterakan rakyat banyak. Sebab, kelak di akhirat akan
ditanyakan pertanggungjawabannya. Wallahu a'lam.
Shobikhul Muayyad, M.Sos Peneliti di Lembaga Studi Agama dan
Nasionalisme (LeSan), Ketua Bidang Sosial PW GPII Jawa Tengah
Sumber: Republika.co.id
Sumber: Republika.co.id
0 Komentar