Doc. Pribadi |
Oleh: Evant Andi A (Pemuda Desa Pecinta Indonesia)
Ada apa dengan negeri ini sebenarnya? Kenapa dengan mudahnya
kita menjumpai, di rumah, di jalanan, di gedung-gedung DPR, dan bahkan mirisnya
ditempat-tempat ibadah, orang yang marah-marah. Bukan saja melalui tindakan,
tetapi juga ujaran dan kata-kata yang seolah dipilih kasar dan menusuk. Pers
atau bahkan media televisi pun tampaknya suka dengan berita dan
tayangan-tayangan yang menampilkan kemarahan.
Yang lebih
memprihatinkan, bahasa kemarahan tersebut juga sudah seperti tren dikalangan
para intelektual dan agamawan. Khotbah keagamaan, ceramah-ceramah dan bahkan
makalah ilmiah, rasanya kurang sedap jika tak dibumbui ujaran kebencian dan
nada kemarahan. Bukan saja dikota-kota besar, setingkat kecamatan atau bahkan
desa pun akan dengan mudah menyaksikan dan mendengarkan khotbah, atau ceramah yang
dengan kebencian yang luar biasa menghujat pihak-pihak tertentu yang tidak
sepaham dengan dirinya. Mereka dengan mudahnya menyuarakan kegeraman atas nama
amar ma’ruf nahi munkar, lalu menganggap apa yang dikemukakan merupakan
kebenaran satu-satunya. Sedangkan yang bersebrangan pasti salah, dan yang salah
pasti jahanam. (gus mus)
Dari
bacaan, ceramah, dan khutbah-khutbah tadi pada saatnya menjalar ke hal yang
lain, seperti media komunikasi internet (medsos). Lihatlah dan bacalah apa yang
ditulis orang-orang diruang khusus yang disediakan untuk mengomentari suatu
berita atau opini di dunia maya, atau chat yang ditulis sesama teman didalam
grup. Bahkan saudara, adik-adik kita yang bagiku untuk umur setingkat mereka,
sudah dengan mudah mendapat kosa kata-kosa kata yang kurang pantas.
Kita boleh
beranalisis bahwa fenomena tersebut adalah akibat dari berbagai faktor. Baik
karena tekanan ekonomi, ketimpangan sosial, dan bahkan yang paling utama yaitu
ketertinggalan. Namun mengingat bahwa mayoritas negeri ini beragama Islam,
pengikut Nabi Muhammad SAW, fenomena tersebut tetap saja memprihatinkan.
Apalagi jika para elit agama yang mengajarkan budi pekerti justru ikut larut
dan menjadi pelopor tren jahiliyah tersebut.
Sekali lagi
pertanyaan yang sama muncul. Ada apa dengan negeri ini? Apakah hanya karena
panas global? Atau karena apa? Lalu, jika sudah seperti tadi, siapa lagi yang
akan kita panuti?
Bagi umat
islam, al-khairu kulluhu fittibaa’ir Rasul, yang terbaik dan paling baik adalah
mengikuti jejak Rasul Muhammad SAW. Dan ini perintah Allah. Nabi Muhammad
sebagaimana dikisahkan dalam Al-Quran, beliau memiliki keluhuran budi yang luar
biasa, lemah lembut, tidak kasar dan tidak kaku. Kesaksian para sahabat sepakat
bahwa panutan agung kita benar-benar teladan. Pribadi yang mulia, tidak bengis,
tidak kasar. Tidak suka mengumpat dan memaki, tidak menegur dengan cara yang
menyakitkan hati, tidak membalas keburukan dengan keburukan, melainkan
memaafkan.
Bagi Nabi
Muhammad SAW, orang yang paling mulia bukanlah orang yang paling pandai, atau
orang yang fasih berbicara, bagi beliau orang yang mulia ialah orang yang mulia
akhlaqnya.
0 Komentar