Banyaknya kasus korupsi yang menjerat Kepala Daerah di Indonesia, baik yang sudah diputuskan hakiim maupun masih dalam proses hukum menggambarkan potret masyarakat yang masih jauh dari keadilan dan kemakmuran. Kemendagri mencatat, lebih dari 313 Kepala Daerah pernah dan sedang tersangkut perkara di KPK, mulai dari tahun 2004 sampai dengan 2017.Kasus-kasus tersebut menyiratkan tanda tanya besar, pertanyaannya adalah apa yang terjadi dengan Pemimpin Daerah ?, apakah ada yang salah dengan sistem pemilu yang telah dan akan berlangsung ? dan masih banyak pertanyaan-pertanyaan lainnya yang membutuhkan jawaban, kemudian dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukanmenyangkutsengkarut persoalan terjadi akar permasalahannya adalah sistem pemilukada yang liberal, sehingga sangat memungkinkan Kepala Daerah melakukan tindakan di luar ketentuan hukum yang berlaku, yatu tindakan korupsi, suap menyuap dan lain sebagainya demi memenuhi hasrat untuk maju dalam pemilukada periode beriikutnya.
Wacana pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dikembalikan kepada DPRD dengan mempertimbangkan efektifitas anggaran dan meminimalisir konflik horisontal Pra Pemilukada maupun Pasca Pemilukada serta menangkal isu money politicdan lain sebagainya. Apakah ini bagian dari solusi ? ternyata persoalannya sama, cuma ruang lingkupnya saja yang berbeda, jika pemilihannya dilakukan oleh DPRD praktek transaksional sangat mungkin terjadi anatara calon kepala daerah dengan partai politik selaku pemilik gerbong, politik uang pun bisa terjadi yang menguntungkan segelintir elit politik.Perlunya evaluasi dan perbaikan di semua lini sangat penting dan segera dilakukan sehingga Pemilukada berjalan dengan demokratis dan menghasilkan pemimpin daerah yang amanah.
Pesta demokrasi di tingkat lokal sering kali dibajak oleh kepentingan kekuasaan dan pemilik modal, mulai dari politisasi birokrasi sampai dengan politik uang, hal ini yang pandang sebagai pengingkaran nilai-nilai demokrasi. Kecurangan tersebut tidak terlebas dari pemilukada yang berbiaya tinggi, item pengeluaran calon dalam kontestasi pencalonan di mulai dari biaya pencalonan (ongkos kendaraan/gerbong pengusung) sering disebut mahar politik, biaya atribut kampanye, pembentukan tim sukses, survey, kampanye di media cetak dan elektronik, sampai dengan biaya saksi di setiap tempat pemungutan suara (TPS). Belum lagi biaya-biaya yang lain. Biaya yang begitu besar kadang tidak sebanding dengan pendapatan seorang Kepala Daerahjika terpilih, yang terjadi adalah Kepala Daerah menggunakan jurus 212 dalam memimpin wilayahnya, 212 artinya 2 tahun pertama seorang kepala daerah menggunakan kekuasaannya untuk meraup keuntungan pribadidemi mengembalikan modal, 1 tahun berikutnya mencari keuntungan sebanyak-banyaknya, 2 tahun terakhir masa pemerintahannya digunakan untuk kampanye karena mau mencalonkan kembali diperiode kedua. Makanya banyak Kepala Daerah terkena operasi tangkap tangan (OTT) sedang menerima suap.
Solusi dalam penataan Pemilukada langsung adalah pertama, memberikan porsi yang sama terhadap semua calon yang difasilitasi oleh penyelenggara pemiilu (KPU) misalnya soal kampanye, pemerintah memberikan ruang yang sama bagi seluruh kandidat, baik kampanye di media cetak dan elektronik, jika tidak diatur maka yang memiliki modal akan berlomba-lomba menguasai media.Kedua, perbaiki sistem, dalam Pemilukada yang bersifat memaksa, Pemilukada akan berkualitas atau tidak bergantung pada kerangka hukumnya, munculnya persoalan dan permasalahan dalam pemilukada diakibatkan kerangka hukumnya hanya berorientasi kepentingan golongan dan transaksional.Jika kerangka hukumnya baik, hasilnya pun baik begitu sebalinya. Sistem yang baik akan memaksa para kandidat dan partai politik bekerja keras mencari dukungan rakyat.
UUD 1945 Pasal 18 perubahan kedua menyatakan bahwa Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi kabupaten dan kota dipilih secara demokratis. Makna demoratis di sini pada kenyataannya, baik gubernur, bupati, walikota dipilih secara langsung oleh rakyat, termasuk pemilihan presiden dan wakil rakyat. Pasal tersebut yang memberikan ruang penafsiran berbeda tentang demokratis. Makna yang pertama adalah pemilihan langgsung dan makna yang kedua adalah pemilihan melalui DPRD.Plus minus Pemilukada langsung dan tidak langsung memberikan konsekuensi, baik positif maupun negetif, perbaikan dan evaluasi sangat penting bagi penyelengara, pemerintah, wakil rakyat dan rakyat itu sendiri.
Pemilihan pemimpin lokal sangat penting dalam tranformasi politik menuju konsolidasi demokrasi ditingkat lokal dengan tujuan membentuk pemerintahan daerah yang pro publik, efektif dan representatif. Harapannya adalah muncul pemimpin potensial yang secara adil memimpin daerahnya, berorientasi mensejahterakan rakyat yang diipimpinnya serta mengunakan kekuasaannya untuk menolong banyak orang yaitu rakyat, bekerja bukan karena citra, bekerja semata-mata mewujudkan kemakmuran, ini yang seharusnya kepala daerah lakukan jika terpilih. Periode berikutnya masyarakat akan bisa menilai siapa yang cocok memimpin daerahnya.
*Oleh: Mukharom, Dewan Syura PW GPII Jateng, Dosen Fakultas Hukum Universitas Semarang (USM).
Sumber: Militan.co
0 Komentar