Subscribe Us

header ads

Pemimpin: Dilema Antara Amanah dan Ekonomi

Pembahasan mengenai pemimpin memang selalu menarik untuk diperbincangkan mengingat dari waktu ke waktu dirasakan semakin sulit menemukan figur pemimpin sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah Saw. Bahkan belakangan ini sering tedengar  dan terlihat banyak pemimpin yang tidak amanah. Seakan pemimpin sekarang ini telah lupa tugasnya menjadi seorang pemimpin. Bila ditinjau ulang tugas dari seorang pemimpin itu sendiri adalah untuk mensejahterakan masyarakatnya dan menjadikan negara yang dipimpinnya berkembang dengan masyarakat yang hidup damai dan sejahtera.
Selama dunia masih terbentang, tentu peran manusia sebagai pemimpin masih diperlukan dan bahkan sangat menentukan sebagai khalifatullah di muka bumi. Karena memang pada dasarnya manusia diciptakan untuk menjadi seorang khalifah di muka bumi, yaitu dalam artian untuk menjadi seorang pemimpin dan pemakmur muka bumi. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 30.
Dalam hukum ekonomi Islam juga dijelaskan bahwa peran seorang pemimpin adalah untuk menjamin perkembangan perekonomian agar berjalan sesuai syariah yang ada di dalam Islam dan untuk memastikan agar tidak terjadi sebuah pelanggaran terhadap hak-hak manusia. Menurut Al-Mawardi, dalam buku ekonomi tugas dari seorang pemimpin adalah untuk melanjutkan fungsi dan tugas dari para Nabi pada zaman dahulu, yaitu menjaga agama Islam dan mengatur urusan duniawi.
Bahkan keidealan seorang pemimpin yang diharapkan oleh dunia sekarang ini tidak hanya seorang pemimpin yang mempunyai sifat cerdas dan tegas, tetapi juga harus ditopang dengan adanya seorang pemimpin yang  mempunyai sifat amanah terhadap tugas dan tanggung jawab yang diembannya. Sebab, keamanahan seorang pemimpin itu menjadi sifat dasar bagi kebaikan dan kemuliaan bagi tugas dan tanggung jawab yang akan di emban seorang pemimpin kedepannya. Pemimpin yang amanah tentu akan menghadirkan langkah dan kebijakan yang selalu berpihak pada nurani, nilai-nilai spiritualitas sehingga tindakannya akan selalu selaras dengan kebaikan masyarakat secara luas. Ukuran pemimpin yang amanah merujuk pada bentuk kepercayaan masyarakat kepadanya dan kemudian disikapi dengan niat bulat untuk selalu menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah yang tidak hanya dipahami sebagai urusan dunia, tetapi juga merujuk pada kehidupan akhirat nantinya.
Selain itu dalam idealitanya, kekuasaan itu harus bersumber dan berada di bawah panduan dari etika ilahi dan etika politik yang prophetik. Ajaran-ajaran al-Qur’an dan hadist banyak memberikan penekanan pada pemahaman bahwa kekuasaan itu adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan oleh seorang pemimpin baik kepada rakyat maupun kepada Allah. Rakyat dalam Islam juga diposisikan bukan sebagai obyek semata, sementara pemimpin tidaklah memiliki klaim absolut untuk melakukan apa saja dengan sewenang-wenang.  Islam juga lebih berorientasi pada sebuah sistem kepemimpinan yang meletakkan rakyat sebagai pihak yang harus dilayani dan sebaliknya, pemimpin sebagai pihak yang harus melayani rakyat atau warga negara.
Namun, realita sekarang ini sudah jauh dari harapan.  Pemimpin sekarang ini justru kebanyakan lebih mengedepankan mental sebagi bos, mereka cenderung lupa akan tugasnya untuk melayani rakyat. Selain itu mereka juga cenderung mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya untuk mengembalikan modal ketika mencalonkan diri sebagai pemimpin. Bahkan tidak jarang banyak yang mengambil jalan pintas dengan melakukan korupsi dan kemudian lalai dengan tugasnya untuk mensejahterakan rakyat.
Kita dapat lihat sendiri di Indonesia ini, sudah banyak kasus korupsi yang selalu ada dari tahun ke tahun. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa adanya korupsi tersebut menimbulkan banyaknya dampak negatif terutama dalam bidang ekonomi. Padahal masih banyak jaminan ekonomi dan pelayanan pemimpin bagi rakyat yang belum terpenuhi sepenuhnya.
Membahas mengenai jaminan ekonomi yang belum terpenuhi ini, kita dapat menilik sendiri keberadaan negara kita sekarang yang belum bisa menghapus ketimpangan dalam berbagai hal, utamanya pada ketimpangan regional, ketimpangan pembangunan SDM, serta ketimpangan dalam pnghapusan kemiskinan. Ketimpangan regional yang dimaksud adalah bahwa selalu saja sulit untuk menyeimbangkan penyediaan fasilitas di antara satu daerah dengan daerah yang lain. Selalu saja ada kelebihan tertentu yang ada pada satu daerah dan tidak didapatkan pada daerah yang lain.
Ketimpangan dalam pembangunan SDM adalah misalnya, bagaimana fasilitas pendidikan di suatu tempat bisa maju sedangkan di lain tempat kurang maju. Senantiasa ada alasan bagi seseorang untukberpindah ke lokasi yang lain untuk mencari fasilitas yang lebih maju. Sedangkan yang dimaksud ketimpangan penghapusan kemiskinan adalah, bahwa biaya subsidi untuk orang miskin di satu wilayah berbeda dengan wilayah yang lain. Itu adalah suatu hal yang mudah. Namun, ketimpangan yang dimaksud adalah bahwa akan menjadi usaha yang selalu gagal untuk menghapus kemiskinan karena orang yang disubsidi saat muda sampai tuanya juga akan tetap disubsidi, sehingga orang-orang miskin tetap berada dalam jalur kemiskinannya.
Berikut adalah beberapa cuplikan mengenai jaminan ekonomi yang belum terpenuhi sepenuhnya, untuk itu di harapkan seorang pemimpin itu bisa amanah terhadap tugas yang diembannya. Sebab, kepemimpinan sesungguhnya adalah suatu amanah (titipan) yang setiap saat harus dipertanggungjawabkan dan diambil wewenangnya. Amanah itu diperoleh dari Allah Swt. lewat pemilihan yang dilakukan oleh manusia, kecuali para Nabi dan Rasul yang langsung dipilih oleh Allah. Oleh karena itu, dalam melaksanakan amanah, manusia diharapkan senantiasa berbuat baik dan bertanggung jawab. Jika manusia bisa menyadari bahwa kepemimpinan adalah amanah, maka mereka tidak akan berebut kekuasaan, atau memaksakan diri untuk menjadi pemimpin dengan keuntungan materi semata.
Oleh: Tika Mutiani, Mahasiswa Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo Semarang
Sumber: Militan.co

Posting Komentar

0 Komentar