Partai Komunis Indonesia
(PKI) telah mengambil tempat khusus dalam catatan sejarah bangsa Indonesia. PKI
selalu menjadi perbincangan yang menguras emosi tiap tahunnya,
setidaknya pada September. Salah satu bagian kejadian memilukan dari peristiwa G30S-PKI
yang dicatat bangsa ini adalah pembantaian terhadap enam jendral dan satu
perwira TNI oleh PKI di kawasan Lubang Buaya. Mereka adalah Jendral Ahmad Yani,
Letjen Suprapto, Letjen Haryono, Letjen Siswondo Parman, Mayjen Panjaitan,
Mayjen Sutoyo Siswomiharjo, dan Kapten Pierre Tendean, yang kemudian ditetapkan
sebagai pahlwan revolusi oleh pemerintah Indonesia. Di bawah kepemimpinan
Mayjen Soeharto, mereka berhasil ditemukan dalam penggalian sumur di Lubang
Buaya.
Jendral-jendral dan pewira
tersebut dibunuh karena mereka dikenal sebagai anti-komunis. Dengan iringan
pidato memilukan dari Jendral Nasution (yang juga merupakan sasaran utama PKI,
tetapi berhasil lolos), mereka dikebumikan secara terhormat melalui upacara
kebesaran militer. Akibat peristiwa ini, ditambah kejadian-kejadian memilukan
lainnya, PKI dianggap sebagai penghianat bangsa, bahkan ditetapkan sebagai
organisasi terlarang oleh pemerintah melalui Ketetapan MPRS RI No. XXV/MPRS/1966 tahun 1966. Karena itu, sebagai
anak bangsa kita harus menjaga agar peristiwa serupa tidak
terjadi di masa yang akan
datang.
Era demokrasi yang kian
liberal sekarang ini memang secara tidak langsung akan memberikan kesempatan
sebesar-besarnya kepada individu atau kelompok berideologi apapun untuk bebas
bersuara, termasuk kelompok yang pernah “dicap” sebagai penghiat bangsa, PKI.
Kebebasan berserikat dan menyampaikan pendapat memang telah diamanatkan oleh
UUD NRI 1945, sehingga terkadang pengekangan terhadap kelompok tertentu menjadi
sesuatu yang paradoksal. Namun, khusus
terhadap ideologi komunis/marksisme atau
leninisme, kembalikan kepada Tap MPRS RI No. XXV/MPRS/1966
tahun 1966. Karena itu, kita tetap harus hati-hati dan senantiasa berjaga-jaga siaga.
Mahasiswa
(Pernah) Melawan
Akhir-akhir ini, kekhawatiran
akan bangkitnya kekuatan PKI (entah itu munculnya karena alamiah maupun desain
politik kelompok tertentu) terus menjadi perbincangan panas masyarakat,
termasuk kalangan mahasiswa—baik di dunia nyata maupun maya (sosmed). Maklum, segala peristiwa penting yang terjadi
di Indonesia tidak akan dibiarkan begitu saja oleh mahasiswa yang mengemban
peran sebagai agent of social cange. Lalu bagaimana mahasiswa menanggapi
atau merespon kehadiran PKI dari masa ke masa,
terlebih saat ini dan yang akan datang. Jika merunut sejarah perjalanan
bangsa Indonesia kaitannya mahasiswa dengan PKI, ditemukan fakta sejarah yang
cukup melimpah.
Sebenarnya, mulai 1956 PKI memiliki organisasi
sayap di tataran
mahasiswa, yaitu Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI). Organisasi
mahasiswa komunis inilah yang digunakan PKI untuk membangun kekuatan yang lebih
besar (di kalangan pemuda) dengan cara mempengaruhi paradigma mahasiswa.
Melalui CGMI inilah, ide-ide dan paham komunis
disebarkan luaskan. Langkah ini tidak berjalan
mulus. Upaya CGMI tersebut mendapat tantangan serius
dari para mahasiswa Islam yang tergabung dalam
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Sebagai organisasi mahasiswa tertua dan terbesar
di Indonesia, HMI lebih menarik di mata mahasiswa yang mayoritas beragama
Islam, dibandingkan dengan CGMI yang merupakan pendukung PKI, yang cenderung “meniadakan” agama dalam bernegara.
Persiangan itu akhirnya
bermuara kepada perlawanan. Sekitar tahun 60-an, HMI berjuang melawan kaum
pendukung ideologi yang anti-agama dan anti-Pancasila, khususnya PKI. Pada saat
itu, ketika Masyumi dan PSI dibubarkan pada 1961, tinggal ada tiga kekuatan
besar yakni Partai Nasional Indonesia (PNI), Nahdlatul Ulama’ (NU), dan PKI. Praktis
umat Islam hanya bertumpu pada NU dalam politik. PKI sangat berbahagia karena
musuhnya berkurang; Masyumi dan PSII berhasil dibubarkan oleh Soekarno.
Kedekatan Soekarno dengan PKI menjadi salah satu sebab pembubaran partai Islam
tersebut. Hingga akhirnya, PKI merasa masih punya satu musuh dari kalangan
mahasiswa Islam, yang karena itu juga harus dibubarkan, dialah HMI. Mereka meneriakkan pembubaran HMI di mana-mana,
dengan tuduhan HMI adalah organisasi yang bertindak kontra revolusioner.
Di bawah pimpinan DN. Aidit,
PKI dan pendukungnya, seperti CGMI,
Gerwani, Pemuda Rakyat, dan lainnya, berusaha membujuk
Soekarno untuk membubarkan HMI. Mereka berteriak dengan yel-yel “bila tidak bisa
bubarkan HMI, pakai sarung saja”. Isu pembubaran HMI ini menjadi topik terpanas
di kalangan organisasi mahasiswa lainnya. Namun, tidak semudah membubarkan
Masyumi dan PSI, rencana pembubaran HMI mendapat perlawanan keras dari berbagai
kalangan. Bahkan, salah satunya berasal dari “kekuatan baru” di era Demokrasi
Terpimpin yang muncul dari kekuatan non-politik, yang tidak lain adalah
kelompok militer, terutama TNI-Angkatan Darat. “Kalau mau membubarkan HMI,
langkahi dulu mayat saya,” itulah pernyataan Jendral Ahmad Yani yang membuat
HMI semakin bersemangat untuk melawan nafsu PKI itu.
Utamakan Fight
For, daripada Fight Against
Lewat perjuangan diplomasi
yang cantik, Presiden Soekarno pun bergeming, tidak mau membubarkan HMI. Hal
tersebut menunjukkan bahwa mahasiswa memiliki kekuatan yang tidak bisa dianggap
remeh dalam konteks percaturan negara. Tidak bisa dibayangkan jika HMI berhasil
dibubarkan. Indonesia bakal berubah total, apabila PKI menguasai negara. Namun,
semuanya berlalu sebagaimana “skenario” Allah Swt. yang menghendaki Indonesia
sebagai negara yang bertuhan. Lalu, bagaimana mahasiswa menyikapi isu-isu
semacam kebangkitan kembali PKI. Nurcholish
Madjid alias Cak Nur (salah satu ideolog HMI) mengatakan bahwa keputusan
HMI melawan PKI pada saat itu disebutnya sebagai fight against (berjuang
melawan) yang memang harus dilakukan.
Di era pembangunan ini,
mahasiswa lebih banyak dituntut untuk berpartisipasi secara proaktif dan
positif. Sehingga, tekanan lebih diberikan pada segi fight for (berjuang
untuk), daripada fight against. Oleh sebab itu, yang lebih dipentingkan
bukanlah sekedar semangat berapi-api dan berkobar saja, melainkan kemampuan
teknis yang tinggi, yang highly qualified. Nah, kemampuan ini lebih banyak
mengarah pada kecakapan problem solving, daripada solidarity making. Perjuangan
dengan tekanan ini lebih sulit, karena lebih bersifat “kerja tekun”, daripada
“kerja berkorbar”. Namun, bukan berarti “kerja berkobar” tidak dilakukan. Harus
tetap dilakukan. Oleh sebab itu, mahasiswa harus menempatkan diri pada posisi
demikian, agar tercipta gerakan mahasiswa yang lebih teratur dan terukur. Konkritnya, jika
ancaman PKI terhadap keutuhan NKRI itu benar-benar nyata, maka apa boleh buat;
tidak ada kata yang lebih tepat kecuali “LAWAN”. Wallahu a’lam bi al-shawaab.
*Ketua Umum HMI Komisariat Dakwah Walisongo Periode 2013-2014, Peraih Beasiswa Kemenpora pada Magister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan UNDIP Semarang
0 Komentar