Subscribe Us

header ads

PKI, HMI, dan Mahasiswa Kini

Oleh: Mokhamad Abdul Aziz*
Partai Komunis Indonesia (PKI) telah mengambil tempat khusus dalam catatan sejarah bangsa Indonesia. PKI selalu menjadi perbincangan yang menguras emosi tiap tahunnya, setidaknya pada September. Salah satu bagian kejadian memilukan dari peristiwa G30S-PKI yang dicatat bangsa ini adalah pembantaian terhadap enam jendral dan satu perwira TNI oleh PKI di kawasan Lubang Buaya. Mereka adalah Jendral Ahmad Yani, Letjen Suprapto, Letjen Haryono, Letjen Siswondo Parman, Mayjen Panjaitan, Mayjen Sutoyo Siswomiharjo, dan Kapten Pierre Tendean, yang kemudian ditetapkan sebagai pahlwan revolusi oleh pemerintah Indonesia. Di bawah kepemimpinan Mayjen Soeharto, mereka berhasil ditemukan dalam penggalian sumur di Lubang Buaya.
Jendral-jendral dan pewira tersebut dibunuh karena mereka dikenal sebagai anti-komunis. Dengan iringan pidato memilukan dari Jendral Nasution (yang juga merupakan sasaran utama PKI, tetapi berhasil lolos), mereka dikebumikan secara terhormat melalui upacara kebesaran militer. Akibat peristiwa ini, ditambah kejadian-kejadian memilukan lainnya, PKI dianggap sebagai penghianat bangsa, bahkan ditetapkan sebagai organisasi terlarang oleh pemerintah melalui Ketetapan MPRS RI No. XXV/MPRS/1966 tahun 1966. Karena itu, sebagai anak bangsa kita harus menjaga agar peristiwa serupa tidak terjadi di masa yang akan datang.
Era demokrasi yang kian liberal sekarang ini memang secara tidak langsung akan memberikan kesempatan sebesar-besarnya kepada individu atau kelompok berideologi apapun untuk bebas bersuara, termasuk kelompok yang pernah “dicap” sebagai penghiat bangsa, PKI. Kebebasan berserikat dan menyampaikan pendapat memang telah diamanatkan oleh UUD NRI 1945, sehingga terkadang pengekangan terhadap kelompok tertentu menjadi sesuatu yang paradoksal. Namun, khusus terhadap ideologi komunis/marksisme atau leninisme, kembalikan kepada Tap MPRS RI No. XXV/MPRS/1966 tahun 1966. Karena itu, kita tetap harus hati-hati dan senantiasa berjaga-jaga siaga.
Mahasiswa (Pernah) Melawan
Akhir-akhir ini, kekhawatiran akan bangkitnya kekuatan PKI (entah itu munculnya karena alamiah maupun desain politik kelompok tertentu) terus menjadi perbincangan panas masyarakat, termasuk kalangan mahasiswa—baik di dunia nyata maupun maya (sosmed).  Maklum, segala peristiwa penting yang terjadi di Indonesia tidak akan dibiarkan begitu saja oleh mahasiswa yang mengemban peran sebagai agent of social cange. Lalu bagaimana mahasiswa menanggapi atau merespon kehadiran PKI dari masa ke masa, terlebih saat ini dan yang akan datang. Jika merunut sejarah perjalanan bangsa Indonesia kaitannya mahasiswa dengan PKI, ditemukan fakta sejarah yang cukup melimpah.
Sebenarnya, mulai 1956 PKI memiliki organisasi sayap di tataran mahasiswa, yaitu Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI). Organisasi mahasiswa komunis inilah yang digunakan PKI untuk membangun kekuatan yang lebih besar (di kalangan pemuda) dengan cara mempengaruhi paradigma mahasiswa. Melalui CGMI inilah, ide-ide dan paham komunis disebarkan luaskan. Langkah ini tidak berjalan mulus. Upaya CGMI tersebut mendapat tantangan serius dari para mahasiswa Islam yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Sebagai organisasi mahasiswa tertua dan terbesar di Indonesia, HMI lebih menarik di mata mahasiswa yang mayoritas beragama Islam, dibandingkan dengan CGMI yang merupakan pendukung PKI, yang cenderung meniadakan agama dalam bernegara.
Persiangan itu akhirnya bermuara kepada perlawanan. Sekitar tahun 60-an, HMI berjuang melawan kaum pendukung ideologi yang anti-agama dan anti-Pancasila, khususnya PKI. Pada saat itu, ketika Masyumi dan PSI dibubarkan pada 1961, tinggal ada tiga kekuatan besar yakni Partai Nasional Indonesia (PNI), Nahdlatul Ulama’ (NU), dan PKI. Praktis umat Islam hanya bertumpu pada NU dalam politik. PKI sangat berbahagia karena musuhnya berkurang; Masyumi dan PSII berhasil dibubarkan oleh Soekarno. Kedekatan Soekarno dengan PKI menjadi salah satu sebab pembubaran partai Islam tersebut. Hingga akhirnya, PKI merasa masih punya satu musuh dari kalangan mahasiswa Islam, yang karena itu juga harus dibubarkan, dialah HMI. Mereka meneriakkan pembubaran HMI di mana-mana, dengan tuduhan HMI adalah organisasi yang bertindak kontra revolusioner.
Di bawah pimpinan DN. Aidit, PKI dan pendukungnya, seperti CGMI, Gerwani, Pemuda Rakyat, dan lainnya, berusaha membujuk Soekarno untuk membubarkan HMI. Mereka berteriak dengan yel-yel “bila tidak bisa bubarkan HMI, pakai sarung saja”. Isu pembubaran HMI ini menjadi topik terpanas di kalangan organisasi mahasiswa lainnya. Namun, tidak semudah membubarkan Masyumi dan PSI, rencana pembubaran HMI mendapat perlawanan keras dari berbagai kalangan. Bahkan, salah satunya berasal dari “kekuatan baru” di era Demokrasi Terpimpin yang muncul dari kekuatan non-politik, yang tidak lain adalah kelompok militer, terutama TNI-Angkatan Darat. “Kalau mau membubarkan HMI, langkahi dulu mayat saya,” itulah pernyataan Jendral Ahmad Yani yang membuat HMI semakin bersemangat untuk melawan nafsu PKI itu.
Utamakan Fight For, daripada Fight Against
Lewat perjuangan diplomasi yang cantik, Presiden Soekarno pun bergeming, tidak mau membubarkan HMI. Hal tersebut menunjukkan bahwa mahasiswa memiliki kekuatan yang tidak bisa dianggap remeh dalam konteks percaturan negara. Tidak bisa dibayangkan jika HMI berhasil dibubarkan. Indonesia bakal berubah total, apabila PKI menguasai negara. Namun, semuanya berlalu sebagaimana “skenario” Allah Swt. yang menghendaki Indonesia sebagai negara yang bertuhan. Lalu, bagaimana mahasiswa menyikapi isu-isu semacam kebangkitan kembali PKI. Nurcholish Madjid alias Cak Nur (salah satu ideolog HMI) mengatakan bahwa keputusan HMI melawan PKI pada saat itu disebutnya sebagai fight against (berjuang melawan) yang memang harus dilakukan.

Di era pembangunan ini, mahasiswa lebih banyak dituntut untuk berpartisipasi secara proaktif dan positif. Sehingga, tekanan lebih diberikan pada segi fight for (berjuang untuk), daripada fight against. Oleh sebab itu, yang lebih dipentingkan bukanlah sekedar semangat berapi-api dan berkobar saja, melainkan kemampuan teknis yang tinggi, yang highly qualified. Nah, kemampuan ini lebih banyak mengarah pada kecakapan problem solving, daripada solidarity making. Perjuangan dengan tekanan ini lebih sulit, karena lebih bersifat “kerja tekun”, daripada “kerja berkorbar”. Namun, bukan berarti “kerja berkobar” tidak dilakukan. Harus tetap dilakukan. Oleh sebab itu, mahasiswa harus menempatkan diri pada posisi demikian, agar tercipta gerakan mahasiswa yang lebih teratur dan terukur. Konkritnya, jika ancaman PKI terhadap keutuhan NKRI itu benar-benar nyata, maka apa boleh buat; tidak ada kata yang lebih tepat kecuali “LAWAN”. Wallahu a’lam bi al-shawaab.

*Ketua Umum HMI Komisariat Dakwah Walisongo Periode 2013-2014Peraih Beasiswa Kemenpora pada Magister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan UNDIP Semarang

Posting Komentar

0 Komentar